ART | WORKSHOP | SURABAYA | INDONESIA | 2023
Alter-Shelter, yang merupakan kependekan dari Alternative Shelter, adalah sebuah lokakarya internasional tahunan yang diinisiasi oleh Operation for Habitat Studies (OHS), sebuah organisasi non-profit di bidang seni dan penelitian krisis urban kontemporer yang berbasis di kota Surabaya. Bulan Agustus lalu, OHS mengadakan kembali lokakarya tahunan Alter-Shelter dengan tema “Entangled Distances”. Kegiatan yang berlangsung selama sepuluh hari pada tanggal 18-27 Agustus 2023 ini berlokasi di Kampung Ketandan, Surabaya. Lokakarya ini diikuti oleh sebelas peserta asal Jepang (Nina Saide Brannen, Yu Cai, Yuiko Takasaki, Akiha Yamashita, Hiyuri Negoro, Maki Kamishi, Mai Kawasaki, Kazumi Shinkai, Hinata Uekado, Hina Ito, Yoshino Kiyoike) dan tiga peserta asal Indonesia (Lamijan, Sultan Putra Gemilang, Zumna Arifatul Khusnia).
Lokakarya Alter-Shelter ini menarik karena proses penelitian berpusat pada isu budaya bertinggal atau habitat masyarakat urban dan output karya yang dihasilkan peserta merupakan respon dari isu yang diangkat berdasarkan hasil temuan dan analisis mereka selama kegiatan. Karya tersebut harus berbentuk media publik alternatif yang kemudian dipresentasikan pada dua hari terakhir kegiatan.
Lokakarya Alter-Shelter tahun ini didukung oleh teman-teman interpreter dari program studi Sastra Jepang Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) sehingga setiap peserta asal Jepang mendapatkan naradamping. Hal ini tentunya mempermudah proses komunikasi bagi para peserta asal Jepang.
Operation for Habitat Studies (OHS)
Didirikan oleh seniman, arsitek, dan peneliti pada tahun 2010, OHS adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk memahami hubungan antara manusia dan lingkungan hidup mereka. Kenta Kishi, seorang arsitek kelahiran Tokyo yang saat itu sedang melakukan riset mengenai kampung, melakukan kerja sama dengan Departemen Desain Produk Industri (Despro) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Saat itu, Bintang Putra menjadi salah satu peneliti yang terlibat di dalam tim riset tersebut yang kemudian diberi nama OHS (Orange House Studio). “Namun seiring berjalannya waktu, kami merasa nama Orange House Studio itu kurang mewakili kegiatan kami. Akhirnya, sekitar tahun 2015/2016 kami berganti nama menjadi Operation for Habitat Studies,” jelas Bintang Putra, direktur OHS saat ini.
Kegiatan-kegiatan OHS berpusat pada hubungan antara manusia dan lingkungan hidup (habitat) mereka di era kontemporer khususnya di wilayah kampung. “Dia (Kenta Kishi) melihat kampung di Surabaya dan kampung-kampung yang ada di Jepang itu cukup kontradiktif. Proyek-proyek ini adalah proyek yang menurut dia penting untuk dikabarkan kembali ke Jepang karena (sebagian besar) kampung di Jepang yang dijadikan kota metropolitan menjadi kehilangan sisi dinamisnya,” ungkap Benny Wicaksono, media artist dan salah satu mentor Alter-Shelter 7.
Sebelum lokakarya Alter-Shelter, OHS memiliki beberapa proyek lain. Yang pertama adalah “Camp on Kampung”. Menurut Bintang Putra dalam wawancaranya bersama kami, proyek ini adalah riset Kenta Kishi yang secara holistis merupakan riset utamanya selama setahun itu.
Kemudian ada “Refugees of Future Cities”, riset yang output-nya menjadi beberapa kegiatan berbeda di lokasi yang berbeda juga yaitu galeri di dalam tenda di Kampung Plampitan, acara makan-makan bersama di Kampung Lemah Putro, dan pameran mural di Tambak Bayan. Ayos Purwoaji, kurator yang menjadi salah satu mentor Alter-Shelter 7 bercerita kepada kami mengenai pemahamannya mengenai Refugees of Future Cities. “Kenta ini punya pandangan bahwa kampung ini adalah suatu model masa depan dunia. Ketika dunia sudah penuh sesak dengan populasi manusia, secara infrastruktur sudah tumpang tindih, kampung ini akan menjadi model masa depan di mana akhirnya warga kampung akan membangun infrastruktur sendiri tanpa bantuan pemerintah. Karena mungkin di masa depan, pemerintah tidak punya kemampuan untuk menghidupi ratusan juta orang. Kemandirian kampung menjadi model untuk kota-kota di masa depan. Seingat aku, intinya Refugees of Future Cities itu membicarakan soal kampung sebagai model pembangunan masa depan.”
OHS juga pernah melakukan riset yang menghasilkan sebuah buku dalam acara “MISA (Massive Influx Study Activity)” dan sebuah lokakarya dengan format serupa dengan Alter-Shelter bernama “Sounding for Absent Citizens”.
Alter-Shelter
Lokakarya Alter-Shelter berawal dari keresahan OHS mengenai fenomena gelembung properti (bubble property) yang terjadi di Surabaya di mana harga properti tumbuh secara tidak wajar dan cepat. “Harga rumah itu lagi naik drastis-drastisnya. Nah, sejauh ini, orang-orang hanya berasumsi bahwa ‘Oh itu karena alami, ya, karena semakin banyak manusia, ruang semakin sedikit’. Tapi padahal faktanya enggak begitu. Di Surabaya pertumbuhan penduduk enggak sebanyak kenaikan harganya. Nah itu menurutku perlu ada yang menjelaskan setidaknya. Berhubung enggak ada pihak yang bisa memberikan penjelasan yang konkret ya, kita harus merespons, kita harus menuntut penjelasan. Nah dengan kegiatan semacam ini, setidaknya membuat mereka tertarik untuk memulai sebuah diskusi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita kemudian untuk merespons dari sudut pandang manapun,” ungkap Bintang Putra dalam presentasinya di video “Alter-Shelter: New Urban Housing Narrative”.
Dari sana, Alter-Shelter sudah terselenggara sebanyak tujuh kali dengan tema-tema berbeda seperti Alter-Shelter, Alter-Shelter 2: Over The façade, Alter-Shelter 3: Urban Literacy, Alter-Shelter 4: Urban Kitchen, Alter-Shelter 5: Migrant Matter, Alter-Shelter 6: Interstitial Occupation, dan tahun ini Alter-Shelter 7: Entangled Distances. Alter-Shelter pertama tidak memiliki sub judul dikarenakan pada awalnya OHS tidak menyangka bahwa kegiatan lokakarya ini akan menjadi sesuatu yang berkelanjutan.
Alter-Shelter 7: Entangled Distances
Permasalahan permukiman di kota tak pernah lepas dari penataan ruangnya. Pemahaman tentang jarak menjadi penting untuk kita memanfaatkan ruang sebaik mungkin. Tema “Entangled Distances” dipilih untuk mendalami persepsi kita tentang jarak, baik secara spasial maupun sosial. Dengan segala keterbatasan ruang, kampung kota menjadi lingkungan yang menarik untuk memaknai ulang perihal jarak (Bintang Putra, 2023).
Kampung Ketandan dipilih menjadi lokasi utama lokakarya. Kampung ini merupakan permukiman informal yang berada di lokasi strategis di pusat kota Surabaya, yang saat ini dikenal sebagai kawasan segitiga emas. Kampung ini dikelilingi oleh hiruk pikuk aktivitas komersial dan juga proyek-proyek pembangunan kota yang sedang berlangsung. Nuansa pengembangan dan pelestarian tata ruang dapat ditangkap di lingkungan ini karena kita dapat menemukan fasilitas perbelanjaan modern yang berdampingan dengan pasar tradisional. Proyek-proyek perbaikan visual yang baru mencoba untuk menutupi lapisan lama, dan rutinitas perkotaan yang baru saling terkait dengan upaya penduduk setempat untuk melestarikan nilai-nilai tradisional (Buklet Alter-Shelter 7, OHS, 2023).









Di Alter-Shelter 7 ini, dari sepuluh hari kegiatan lokakarya, dua hari pertama peserta berkenalan dengan area Kampung Ketandan, melakukan kegiatan eksplorasi di sana, dan melakukan kegiatan lapangan (fieldwork) di beberapa tempat lain seperti Dolly, Peneleh, Lodji Besar, Surabaya Utara, Rusun Sombo, Kampung Tambak Bayan, dan Pasar Keputran. Bagi Zumna—salah satu peserta, kegiatan fieldtrip ini cukup membantu proses kreatifnya. “Menurutku, dari lima residensi yang sudah aku ikuti, Alter-Shelter adalah residensi yang paling kompleks. Para mentor membimbing aku dari nol dari aku belum punya ide apa pun. Lalu kami diajak jalan-jalan. Aku merasa seperti dikasih pilihan hidangan dan bisa memilih mana yang paling enak menurutku untuk aku olah.”

Enam hari selanjutnya, peserta mulai menggarap karya mereka masing-masing dari penemuan dan analisis mereka selama proses eksplorasi serta kegiatan lapangan (fieldwork). Selama proses ini, para peserta juga mendapatkan kuliah, bimbingan, presentasi, ulasan, dan diskusi yang dilakukan oleh para mentor dari berbagai bidang kreatif yang berbasis seni dan urbanisme. Kemudian, di dua hari terakhir para peserta mempresentasikan hasil karya mereka.



Baik menurut para mentor maupun sesama peserta, karya peserta lokakarya semuanya menarik dalam hal merespons apa yang mereka temui selama kegiatan fieldtrip. Kami berkesempatan berbincang dengan ketiga peserta asal Indonesia untuk membahas karya-karya mereka di Alter-Shelter 7 ini.
Sultan Putra Gemilang, pemuda yang akrab dipanggil Gilang ini membuat karya yang ia beri judul “Public Aesthetic (Estetika Publik)”. Karya ini merupakan responsnya dari apa yang ia temui ketika ia berkunjung ke Rusun Sombo, ke pasar-pasar, dan ketika ia mengamati Kampung Ketandan. Ia menjumpai tempat-tempat seperti kampung, rusun, dan pasar adalah tempat yang terbilang sangat padat dan sempit. Dari keterbatasan ruang itu, Gilang melihat masyarakat beradaptasi dengan mendesain ulang ruang-ruang yang padat dan sempit tersebut menjadi sebuah ruang yang menurut mereka nyaman dan membuat mereka produktif.
Sebagai contoh, beberapa penghuni rusun yang Gilang temui meletakan fungsi ruang dapur ke luar rumah mereka. Meskipun di rusun tersebut sudah disediakan dapur bersama, banyak warga yang lebih memilih untuk menciptakan ruang dapur sendiri di depan pintu rumah mereka yang mana adalah lorong rumah susun. Akibatnya, pemandangan kompor yang diletakkan di depan pintu, panci dan wajan yang dipajang, berpadu dengan sangkar burung menjadi suatu kesatuan visual di lorong-lorong dan di tembok-tembok.




Ayos Purwoaji dalam wawancaranya bersama kami membantu memberikan penjelasan terkait hal ini. “Keindahan di kampung itu seperti itu kan; keindahan yang tumpang tindih, keindahan yang enggak order, dia chaos, ada sense of chaos-nya tapi entah bagaimana dia indah dan lucu. Itu yang kemudian dia (Gilang) coba hadirkan di karyanya ini; mencomot apa yang dia lihat di kampung, di pasar, di rumah susun. Bagaimana orang-orang itu menghubungkan benda-benda yang tidak terhubung misalkan sangkar burung dijadikan sebagai wahana mainan di pasar malam atau sepeda motor dijadikan sebagai tempat tanaman.” Sebagai contoh, salah satu sudut dalam karya yang ia buat adalah memajang foto Marlin Monroe di area jemuran.

Zumna Arifatul Khusnia, peserta lain asal Indonesia merespon kunjungan mereka ke Pasar Pabean di Surabaya Utara. Dalam karyanya, Zumna ingin menguraikan sisi lain Kota Surabaya dengan mencoba membawa Pasar Pabean ke Kampung Ketandan. Itulah yang ia maknai dari jarak yang menjadi tema lokakarya Alter-Shelter 7. “Wajah Surabaya yang kita kenal itu kan identik dengan citra kota pahlawan, kota metropolitan, urban, tapi jarang ada yang membahas area pelabuhan dan pasar ikannya. Akhirnya aku tertarik dengan suasana pasar ikan—yang mungkin bagi sebagian orang menyesakkan—tapi menurutku ini sangat menarik untuk dijadikan tema atau isu.”
Zumna yang juga merupakan anggota kolektif Perempuan Pengkaji Seni melihat nilai-nilai feminisme dari para kuli panggul perempuan di Pasar Pabean di mana mereka melampaui kapasitas kemampuan tubuh mereka dengan mengangkat beban di kepala (menyuhun) seberat 30-60 kg. Kondisi ini ia coba hadirkan di Ketandan dengan melakukan performance art di mana Zumna menyuhun wadah-wadah besar berisi air yang ia coba tuangkan ke wadah yang lebih kecil yang bergelantung. “Di performance-ku itu aku mencoba bagaimana rasanya pengalaman membawa beban berat itu dan ingin menunjukkan kepada orang-orang yang ada di Ketandan pada saat itu bahwa mereka (kuli panggul perempuan) juga awalnya kayak aku, enggak bisa. Cuma karena harus dilakukan dan dilakukan setiap hari jadinya mereka terbiasa,” ungkap Zumna.



Selain performance art, Zumna juga membuat karya instalasi berupa kumpulan foto-foto suasana Pasar Pabean dan kain-kain yang digunakan oleh para ibu kuli panggul bekerja dibentangkan seperti langit-langit di area terbuka serta jaring-jaring dan ranting kayu yang ia bentuk seperti ikan besar. Benny Wicaksono memberi komentar mengenai performance art Zumna bahwa ia sudah berhasil membawa rasa dari Pabean itu sendiri ke Ketandan, ke lapangan itu.

Peserta asal Indonesia terakhir adalah Lamijan. Ia membuat sebuah “Monumen Ingatan” yang terinspirasi dari kegiatan masyarakat Ketandan yang rutin melakukan istighosah setahun sekali. Ia membuat sebuah gambar naga berambut api dengan sayap kupu-kupu di sebuah kain. Kemudian kain itu diisi oleh doa anak-anak Kampung Ketandan yang mereka tulis dan gambar sendiri di kain itu. Kain itu dililitkan di sebuah monumen yang ia buat dari susunan batako. Di atas monumen itu, ia tampilkan video anak-anak Ketandan yang mendoakan satu sama lain; misal A mendoakan agar doa-doa B terkabul, B mendoakan agar doa-doa C terkabul, begitu seterusnya seperti lingkaran tak terputus.


Gambar naga berambut api dengan sayap kupu-kupu Lamijan dapatkan dari kunjungan mereka ke Peneleh, makam Eropa di Surabaya. Di sana ia menemukan visual simbol ouroboros—simbol kuno yang menggambarkan seekor ular atau naga yang memakan ekornya sendiri—dengan seekor kupu-kupu di tengahnya. Ketika Lamijan bertanya mengenai makna dari visual yang ia lihat ke orang yang paham mengenai hal ini di sana, katanya itu melambangkan kehidupan dan harapan. Ular sendiri melambangkan siklus kehidupan di mana ekornya dilambangkan sebagai kematian dan kepalanya dilambangkan sebagai kelahiran. Ketika kepala menggigit ekor, itu melambangkan siklus kehidupan yang terus berputar tentang kelahiran dan kematian. Sedangkan kupu-kupu melambangkan harapan. Rambut api pada naga yang Lamijan gambar ia dapatkan ketika ia bertanya tentang mitos masyarakat setempat di makam Peneleh yang katanya di sana terdapat “penunggu” berupa makhluk seperti ular berambut api.
Karya-karya dari para peserta asal Jepang pun tidak kalah menarik. Ada beberapa yang sempat kami liput dan dapat informasi lebih dalam dari para mentor di antaranya karya Maki Kamishi, Hinata Uekado, dan Hina Ito.
Maki Kamishi mengolah sebuah rumah kosong di Kampung Ketandan menjadi Rumah Hantu Maki dan berhasil membuat jalan di depan rumah tersebut dipadati oleh anak-anak dan warga Kampung Ketandan yang antusias.


Hinata Uekado membuat sebuah upacara penguburan burung. Karyanya ini merupakan respons ketika ia melihat warga Kampung Ketandan yang banyak memelihara burung namun ketika burungnya mati, mereka buang begitu saja. Sementara di Jepang, mahluk hidup seperti burung itu lebih dihormati seperti memiliki penguburan yang layak ketika mati. Dalam karyanya ini, Hinata ingin mengingatkan kembali mengenai perasaan lebih menghormati kehidupan dari semua mahluk hidup.
Hina Ito membuat karya di tempat keranda mayat berupa visualisasi cerita-cerita pengalaman gaib masyarakat setempat seperti sebuah kalung dari ice gel, gelang gemerincing, dan batok kelapa. Kalung dari ice gel ini merupakan visualisasi dari cerita warga mengenai perasaan merinding di tengkuk ketika merasakan kehadiran makhluk gaib. Gelang gemerincing dan batok kelapa merupakan visualisasi dari cerita warga yang mendengar suara derap sepatu kuda dan suara gemerincing seperti kereta delman di malam hari. Benda-benda ini ia hadirkan di tempat keranda mayat. Menurut Ayos Purwoaji, karya Hina ini merupakan suatu karya yang komplet karena memperhatikan banyak indra. Misalnya dari indra penciuman, wangi melati yang tercium ketika mereka memasuki tempat keranda mayat. Dari indra pendengaran, gelang gemerincing dan batok kelapa. Sedangkan dari indra peraba, kalung dari ice gel tadi.
“Buatku, poin plus dari dia itu karena dia memilih tempat dengan tepat karena akhirnya kalau dia bahas hantu-hantuan tapi membahasnya di sini (Balai Ketandan) jadinya enggak kontekstual. Pada akhirnya, seni itu harus kontekstual; ini kan ngomongin spasial, ngomongin lingkungan,” tambah Ayos Purwoaji mengenai karya Hina.
Dari paparan di atas, kita dapat melihat hal yang membedakan antara Alter-Shelter dengan lokakarya seni lain di Surabaya adalah karena karya yang diciptakan selalu berhubungan dengan isu-isu spasial sehingga penciptaan seni di sini dasarnya bukan karya seni untuk white cube gallery melainkan seni yang bisa muncul di ruang publik. Dengan begitu, dalam lokakarya ini poin penting yang ditekankan adalah prosesnya bukan hasil akhir karyanya.
Foto oleh Hafiz Dimas Anugerah Diadma, Bimo Nugriho, dan Sesilia Eva.

Leave a reply to Works – Sultan Putra Cancel reply