ART | EXHIBITION | GRESIK | 2025
Bagaimana jika kota yang kita tinggali adalah sebuah kebun binatang mental yang liar? Makhluk dan energi seperti apakah yang mendiaminya, dan bagaimana mereka saling berinteraksi?
Berangkat dari kontemplasi ini, kolektif seniman Das Genesis (Ayudhia Virga dan Yura Kenn Kusnar) menghadirkan pameran seni kontemporer media baru bertajuk Bestiarium Mentis. Melalui karya-karya dengan medium yang kompleks, pameran yang dikuratori oleh Ayos Purwoaji ini menawarkan sudut pandang untuk membaca Kota Gresik sebagai ekologi psikis yang liar. Pameran ini diselenggarakan di Loteng Gallery, Gresik, pada 19–21 September 2025, sebagai bagian dari Sesarengan Biennale Jatim Ke-11.
Tentang Das Genesis
Das Genesis melangsungkan pameran tunggal perdana pada 17 Mei – 15 Juni 2025 di Sewu Satu Gallery, Jakarta. Bertajuk Room 404, pameran ini dikuratori oleh Amanda Ariawan. Sebagai kolektif seniman seni media baru, mereka dikenal karena berkarya di luar ruang seni konvensional. Praktik mereka menggabungkan suara, teknologi, dan material mentah untuk membentuk dunia alternatif—tempat kebenaran baru diimajinasikan guna mempertanyakan kebenaran yang berlaku di dunia kita. Bestiarium Mentis adalah pameran tunggal kedua mereka.
Tentang Konsep Bestiarium Mentis
Saat melakukan riset singkat tentang kata “bestiarium” dan “mentis” sebelum menghadiri pameran, saya langsung teringat pada buku Arthur Spiderwick’s Field Guide to the Fantastical World Around You karya Holly Black dan Tony DiTerlizzi. Buku ini, yang merupakan ensiklopedia makhluk nyata dan imajiner, terasa relevan karena memperlakukan makhluk-makhluk fantastis secara meyakinkan.
Jika kita melewatkan bagian pembuka buku ini, kita mungkin akan memiliki sikap skeptis mengenai makhluk-makhluk yang dijelaskan di buku ini. Memangnya mereka benar-benar ada, ya? Akan tetapi, di bagian pembukaan buku ini ada satu kalimat pembuka yang saya ingat sampai sekarang, bahwa nyatanya sesuatu atau tidak itu bergantung kepada persepsi masing-masin. Mengingat bahwa alam semesta begitu luas dan kemampuan kita sebagai manusia amat terbatas, saya rasa segala kemungkinan akan selalu ada.
Secara definitif, bestiarium (bestiary) merujuk pada kumpulan informasi yang mengklasifikasikan makhluk-makhluk nyata dan imajiner. Genre ini awalnya populer di Abad Pertengahan untuk tujuan pendidikan dan moral.
Teks-teks bestiary ini dikenal mengandung alegori, menggunakan hewan—baik nyata maupun mitos—secara simbolis untuk menyampaikan pelajaran moral atau kebenaran yang lebih dalam. Meskipun asalnya berakar pada tujuan pendidikan dan agama Abad Pertengahan, dalam konteks kontemporer, bestiary telah bertransformasi menjadi wadah kreatif yang berfokus pada makhluk fantastis.
Sementara mentis (Latin: genitive dari mens) berarti “berkaitan dengan pikiran” atau “intelektual”.
Setelah memahami konteks tersebut, rasa penasaran saya terhadap pameran Bestiarium Mentis dan karya-karya di dalamnya semakin besar. Saya terutama ingin melihat bagaimana karya Das Genesis akan berinteraksi dengan Loteng Gallery. Galeri ini menarik karena denah ruangannya yang tersekat-sekat dan berluasan kecil—berbeda dengan white gallery yang biasanya open plan—serta bagaimana karya merespons suasana Gresik, khususnya di sekitar Kampung Kemasan.
Pembukaan Pameran dan Bincang Seniman
Karena berlangsung hanya tiga hari, pembukaan pameran juga sekaligus menjadi bincang seniman (artist talk) sebelum para pengunjung dan media yang meliput masuk ke area pameran. Ayos Purwoaji sebagai kurator pameran memandu pembukaan dan artist talk bersama Das Genesis, di mana Ayudhia Virga dan Yura Kenn Kusnar menjelaskan asal-usul konsep pameran.
Ayudhia Virga mengungkapkan impresi awalnya terhadap Gresik sebagai tempat “tabrakan realitas”, ditandai dengan saling-silang referensi dan gaya—terutama pada arsitektur—yang saling berebut tempat tanpa saling menghilangkan. Yura Kenn mengamini hal tersebut, mencatat bahwa desain bangunan di kawasan seperti Sualoka (Kampung Kemasan) sulit diklasifikasikan karena perbedaan mencolok antara lantai satu dan dua.
Mengenai Das Genesis sendiri, Yura Kenn menjelaskan bahwa mereka tidak pernah merumuskan definisi tunggal, namun paling mendekati sebagai kolektif new media art. Praktik mereka non-konvensional dan interdisipliner, mengambil referensi dari berbagai bidang seperti film, musik, dan filosofi. Yura menambahkan bahwa pemilihan medium interdisipliner ini bermula dari limitasi yang ia rasakan dalam seni lukis. Baginya, penambahan disiplin lain ke dalam medium konvensional dapat menghasilkan karya yang tak terduga, dan elemen kejutan itulah yang membuat proses berkarya menjadi lebih menarik.
Tur Pameran dan Ulasan Karya
Ketika mengunjungi area pamer setelah pembukaan, Ayos Purwoaji membuka tur pameran dan kami langsung disambut oleh karya The Story of Macan Kemuning berupa karya digital printing dan instalasi video. Di area sampingnya terdapat karya Ode to Acton bersama teks kuratorial di dinding.
Instalasi video dalam karya The Story of Macan Kemuning menampilkan simulasi ruang berita dalam model 3D digital dengan cuplikan-cuplikan pembawa berita dalam wujud cyborg dan latar belakang sosok macan yang seluruh tubuhnya berwarna hitam mengkilap seperti permukaan kulitnya terbuat dari krom hitam. Poster film dalam kertas berukuran A1 seolah menerjemahkan berita tentang teror Macan Kemuning ke dalam poster film thriller dan gore dengan tipografi yang hiper-stylized dan tekstur darah yang dramatis.
Karya ini menyambut pengunjung karena cerita tentang Macan Kemuning di Gresik adalah salah satu alasan mengapa Das Genesis merumuskan konsep dan judul Bestiarium Mentis untuk pameran kali ini. Dalam tur kuratorial, Ayos Purwoaji dan Ayudiha Virga menceritakan tentang cerita Macan Kemuning dan bagaimana pada akhirnya mereka merumuskan judul Bestiarium Mentis dan menghadirkan karya-kaya seperti yang ada di pameran ini.
Cerita Macan Kemuning adalah kisah nyata dari sebuah desa di Gresik bernama Desa Kemuning. Pada sekitar pertengahan tahun 1943, teror mengerikan melanda desa tersebut berupa pembunuhan berantai yang memakan banyak korban jiwa. Warga percaya bahwa para korban meninggal dimakan sesosok macan. Akan tetapi, para korban ini selalu ditinggalkan hanya kepala mereka, sementara tubuhnya habis dimakan. Tindakan dramatis ini dinilai tidak sesuai dengan insting naluriah pemangsa seperti macan, sehingga menimbulkan dugaan adanya pesan tertentu di balik kepala-kepala yang ditinggalkan itu.


Puncak teror terjadi ketika sepasang pengantin ditemukan tewas dan tinggal kepala mereka saja ketika mereka melakukan perjalanan ke rumah salah satu orang tua mereka. Warga Desa Kemuning akhirnya pindah ke desa terdekat, Desa Lowayu.
Das Genesis memaknai cerita ini sebagai kehendak alam yang mewujud dalam sesosok hewan buas dalam menahan laju perkembangan dan modernisasi. Kisah ini menjadi semacam alegori bagi tradisi dan kepercayaan lokal di Gresik dalam menghadapi perkembangan industri yang terjadi secara masif.
“Bisa jadi ini salah satu cara alam untuk tetap menjaga suatu wilayah di peta tetap hijau,” ungkap Ayudhia Virga menyimpulkan cerita Macan Kemuning sewaktu tur kuratorial.
Kini, yang tersisa di desa itu hanya tiga buah nisan yang dikelilingi tumbuhan hijau yang tumbuh liar di sekitarnya. Visual bumi yang ditinggalkan oleh manusia dan diambil alih oleh tumbuhan yang tumbuh liar dihadirkan ke dalam ruang pamer dan dijadikan tempat pertujukan musik eksperimental Bestial Frequency oleh JG2X keesokan malamnya.
Selain cerita tentang Macan Kemuning, kedua seniman juga melihat bahwa lapisan-lapisan budaya kosmopolitan, kepatuhan religius warga, dan lanskap industrial di Kota Gresik dapat dibaca sebagai bestiarium mentis:yaitu kebun binatang psikis yang dihuni oleh entitas laten, energi-energi tersembunyi, dan makhluk-makhluk simbolik dari benturan spiritualitas, ekspansi industri, dan ingatan kolektif.
“Lapisan sejarah dan kultural yang kaya namun saling berbenturan ini yang membuat kami tertarik untuk mengeksplorasi Kota Gresik secara metaforik, dalam imajinasi saya seperti sebuah arena yang penuh dengan binatang liar yang saling menunjukkan dominasi,” ungkap Ayudhia Virga di sela-sela tur pameran.
Karya selanjutnya yang diletakkan di depan teks kuratorial adalah Ode to Acton. Sebuah patung cetak 3D berbentuk kapak dan gada (senjata tumpul berupa alat pemukul berat dengan gagang dan ujung yang biasanya berbentuk dasar bulat). Sebuah kerangka tengkorak seperti manusia namun memiliki dua wajah ke arah berlawanan terkait dengan kapak dan gada tersebut menggunakan rantai. Gada tersebut tertancap pada sebongkah batu yang meleleh dan terdapat cairan seperti lahar.

Sebelum membaca caption, sama seperti karya-karya yang akan saya ceritakan selanjutnya, secara visual karya ini membuat saya kagum. Mereka sudah membuat saya terkagum dengan kompleksitas visual dan narasi yang coba disampaikan tanpa tahu makna di baliknya terlebih dahulu.
Mengutip caption, “Kapak, simbol kekerasan dan otoritas, diinterpretasikan ulang di sini sebagai objek hibrida yang melampaui fungsi aslinya, menjadi metafora untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang kekuasaan. Alih-alih dominasi atau ketundukan, karya ini menunjukkan bahwa kekuasaan berada di suatu tempat di antara ruang-ruang di antaranya, di mana kekuatan-kekuatan bertegangan, di mana aturan-aturan tidak berlaku dengan tepat.”
Dari narasinya, saya merasa karya ini memiliki koneksi dengan apa yang dikatakan Ayudhia Virga di awal mengenai corak arsitektur yang ia temukan di Gresik: semuanya berebut tempat tapi tidak saling menghilangkan. Karena mungkin saja, referensi gaya arsitektur yang tumpang-tindih ini juga merupakan perwujudan dari kekuatan-kekuatan (etnis, agama, kepentingan) yang bertegangan.
Karya selanjutnya yang ditemui di ruang pamer setelah karya Macan Kemuning adalah Lakai, sebuah mesin siap kerja: container beroda dengan lengan mekanik dan gergaji circular, serta sistem kendali yang jelas dan dirakit dalam kerangka in-order-to.

“Kalau di kerangka pemikiran Heidegger, instrumen itu pada umumnya larut ke dalam dalam zuhanendes (siap-guna), dan ketika rusak, ia muncul sementara sebagai vorhanendes (hadir-sebagai-objek). Misalkan sebuah kapak. Ketika kapak berfungsi normal, ia akan jadi perpanjangan tangan manusia dan larut ke dalam kegunaan (zuhanendes). Tapi ketika palu itu rusak, barulah kapak itu akan terlihat sebagai sebuah kapak (vorhanendes). Siklus benda rusak lalu dibetulkan itu kan biasanya sebentar lalu dia akan kembali menjadi benda siap-guna. Lakai ini justru dia menolak diperbaiki dan memilih untuk tetap ada di wilayah transisi di antara zuhanendes dan vorhanendes,” ungkap Ayudhia Virga menjelaskan tentang Lakai dalam tur pameran.
Tanpa ada maksud hiperbola, karya di ruang selanjutnya membuat saya terus menerus bergumam, “Wah… Gila.” Mars Rover sebagai Golem Modern berdiri gagah di ruangan itu, sesekali menembakkan laser ke dinding berisi caption.

Sebelum Ayudhia Virga kembali menjelaskan tentang karya, lagi-lagi pameran ini mengingatkan saya akan buku-buku yang pernah saya baca. Mendengar kata golem, seketika saya teringat akan buku The Golem’s Eye, buku kedua Trilogi Bartimaeus karya Jonathan Stroud. Saya sudah lupa bagaimana detail cerita trilogi ini tapi saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika selesai membacanya sepuluh tahun lalu. Secara visual dan judul, karya ini sudah menarik perhatian saya.
Golem berasal dari mitologi Yahudi Kabbalah, digambarkan sebagai manusia buatan (homunculus) dari tanah liat yang dihidupkan dengan ritual mistik dan kata-kata di dahinya. Secara harfiah, ia berarti “sesuatu yang belum berbentuk atau tubuh tanpa jiwa.” Kisah terkenalnya adalah Golem Praha abad ke-16, yang diciptakan oleh Rabbi Judah Leow untuk melindungi komunitas, menjadikannya gambaran proto-robot yang patuh.
Eksistensi golem merepresentasikan perlindungan juga bahaya: penjaga buatan yang mampu memiliki kekuatan besar, namun tidak memiliki kemampuan untuk menilai atau bertindak secara mandiri. Akhirnya, konsep golem diperluas ke ranah kosmik, seperti robot Rover dalam Living Theft, yang merupakan tubuh artifisial tanpa jiwa, dihidupkan oleh kode alih-alih roh, melambangkan ambisi penciptaan manusia yang bisa “dimatikan” dari pusat komando, mencerminkan ketakutan akan ciptaan manusia tanpa jiwa yang berjalan liar.
Ayudhia Virga menjelaskan bahwa rover yang dihadirkan di sini adalah replika dari rover milik NASA yang hilang di Mars. Dalam instalasi ini, rover yang dikirim ke Mars untuk mengumpulkan informasi di sana yang bertujuan untuk melindungi manusia–seperti halnya golem–melihat Proplastus Nihili atau makhluk “draft” ciptaan Tuhan dalam lacinya yang tidak seharusnya dilihat oleh manusia.
Masih di ruang yang sama, When Layers Learn to Breath hadir menari di satu sudut ruangan. Video animasi yang ditembakkan ke dinding ini menggambarkan perpaduan dinamis dari berbagai lapisan, baik fisik maupun non-fisik, yang saling berinteraksi, melebur, dan kemudian menghasilkan ledakan konfigurasi bentuk dan warna yang sepenuhnya baru. Proses penggabungan ini menciptakan sebuah entitas unik yang melampaui elemen aslinya. Hal ini mencerminkan logika media baru: bukan hanya representasi, melainkan sintesis berkelanjutan yang membentuk dunia visual hybrid. Ledakan tersebut menjadi metafora tentang bagaimana perbedaan dapat melahirkan entitas digital yang benar-benar baru, mencerminkan kondisi visual kontemporer yang terus bergerak antara fragmentasi dan integrasi.
Karya terakhir adalah patung bebek mainan di atas dudukan berkaki tiga dan ditempatkan di atas balok-balok bata merah. Patung itu ditembak oleh video animasi serupa When Layers Learn to Breath. Saya merasa perpaduan visual antara citra bebek mainan yang menggemaskan dengan dudukan berkaki tiga yang terkesan distopia, video animasi yang menembak ke arahnya, serta suara yang mengisi ruang pamer, membuat karya ini terasa magis dengan jukstaposisi visual yang menarik.
Tata cahaya pameran ini juga perlu diapresiasi. Karya-karya yang dihadirkan menjadi lebih berdimensi. Termasuk tata cahaya ketika pertunjukan musik eksperimental di keesokan harinya.
Hal menarik dari pameran ini tidak berhenti di karyanya saja. Akan tetapi, di pertunjukkan musiknya juga. Loteng Gallery akan terasa panas tanpa bantuan AC. Ketika pertunjukkan musik, Das Genesis sengaja tidak menggunakan AC dan membuat ruangan menjadi panas, terlebih ketika banyak orang berkumpul di satu ruangan di Loteng Gallery untuk menyaksikan pertunjukkan musik. Hal ini membuat pengunjung akan berpencar ke titik-titik dekat kipas angin. Menurut Ayudhia Virga, hal ini disengaja agar orang yang menikmati musik dapat disebar.
Pameran Bestiarium Mentis ini dapat dibaca sebagai upaya untuk memanggil hewan-hewan aneh (beasts) itu keluar dari persembunyiannya dengan teknologi, suara, dan instalasi spasial. Sebagaimana Biennale Jatim XI yang memanggil para Hantu Laut.




Leave a comment