ARTSUBS 2025: Antara Agensi Material dan Representasi

ART | EXHIBITION | SURABAYA | 2025

Oleh Dimas Tri Pamungkas.

Pameran seni rupa kontemporer ARTSUBS di tahun 2025 bertajuk Material Ways penanda sebuah kecenderungan kuat dalam lanskap seni Indonesia kontemporer: kembalinya material sebagai subjek gagasan. Pameran ini mengusung lebih dari 120 seniman dari berbagai daerah dengan pendekatan lintas medium, dari kain dan kaca hingga medium berbasis teknologi seperti video art, Augmented Reality, dan kecerdasan buatan. Di tengah kepungan citraan digital dan banjir informasi visual, ARTSUBS seolah hendak menegaskan bahwa material tetap menjadi medan artikulatif yang paling radikal sekaligus paling tak selesai. Namun, pertanyaannya: apakah pameran ini benar-benar melampaui paradigma material sebagai simbol, dan memasuki wilayah etiko-onto-epistemologis di mana benda memiliki kuasa agensial untuk membentuk makna dan dunia?

Melalui lensa teori Karen Barad (2007) dan kerangka New Materialism seperti yang dijelaskan oleh Coole dan Frost (2010) serta Dolphijn dan van der Tuin (2012), posisi pengamat bergeser dari subjek-sentrisme menuju konfigurasi di mana manusia, benda, ruang, dan representasi merupakan aktor-aktor yang berinteraksi secara intra-aktif. Barad (2007) menolak dikotomi antara subjek dan objek, serta memperkenalkan gagasan bahwa
fenomena tidak mendahului relasi, melainkan terbentuk dari intra-aksi. Berbeda dari interaksi yang mengandaikan entitas sudah utuh sebelum berhubungan, intra-aksi menekankan bahwa identitas manusia, benda, atau ide terbentuk melalui keterjalinan relasional.

Jika demikian, maka seni rupa bukan sekadar bentuk komunikasi manusia yang menggunakan material sebagai media, tetapi adalah konfigurasi dari intra-aksi antara seniman, benda, teknologi, institusi, ruang, dan pengunjung. Barad (2007) memberi perangkat teoretis untuk membaca karya seni bukan sebagai representasi simbolik ide-ide besar, melainkan sebagai peristiwa material yang turut membentuk kondisi sosial dan antologis. Dalam konteks ARTSUBS, hal ini berarti material—baik kaca, tanah, suara, maupun data digital—tidak lagi berada di bawah dominasi konsepsi, melainkan menjadi bagian dari produksi makna itu sendiri.

Beberapa karya di pameran ini memperkuat perspektif tersebut. Kedua karya Moelyono, Gamelan Mengapung di Ladang Jagung dan Arit Mengapung di Ladang Tebu, misalnya, dapat dibaca sebagai medan interaksi dinamis antara manusia, objek, dan lanskap agraris. Pendekatan ini selaras dengan gagasan Bennett (2010) mengenai vibrant matter yang melihat material bukan sebagai alat pasif, melainkan entitas aktif yang membentuk realitas sosial-politik. Dalam Gamelan Mengapung di Ladang Jagung, tubuh petani, jagung, dan instrumen gamelan membentuk jejaring material yang saling mengafeksi—suara gamelan membangun resonansi kultural yang melekat pada siklus pertanian, sementara jagung mengembalikan narasi kerja kolektif yang terancam homogenisasi industrial. Sementara itu, Arit Mengapung di Ladang Tebu menempatkan arit—simbol kerja dan perjuangan kelas—sejajar dengan tubuh petani, api, tebu dan kerbau, membentuk ekologi material yang setara.

Dua Karya Moelyono di pameran ARTSUBS, 2025. (Dokumen: Dimas Tri Pamungkas/2025)

Karya Sediment of The Soul karya Endang Lestari bergerak dalam kerangka serupa. Material tanah liat, dengan warna merah bata dan teksturnya, menjadi aktor aktif yang menyimpan sejarah geologis dan memori kolektif. Perspektif ini sejalan dengan Bolt (2013) yang menekankan kekuatan performatif citra dan objek. Retakan pada keramik mengisyaratkan proses fisik—panas, tekanan, pendinginan—yang menjadi narasi material itu sendiri, membentuk dialog antara kekuatan alam dan intervensi manusia. Dalam kerangka New Materialism (Coole & Frost, 2010), karya ini menggugat dikotomi roh–benda, menegaskan bahwa “jiwa” tidak berada di luar materi, melainkan termaterialisasi melalui interaksi tanah, api, dan bentuk.

Karya Endang Lestari, di pameran ARTSUBS, 2025. (Dokumen: Dimas Tri Pamungkas/2025)

Namun, jika kita tilik lebih dalam, ARTSUBS masih menyisakan problem representasionalisme yang kuat. Banyak karya masih menggunakan material sebagai kendaraan naratif untuk ide besar seperti ekologi, konsumsi, trauma, atau digitalisasi. Hal ini sejalan dengan kritik Barad (2007) terhadap dominasi representasi, yang menegaskan bahwa makna lahir dari relasi material yang terus berubah, bukan dari ide yang dituangkan ke dalam medium.

Persoalan lain adalah distribusi agensi dalam kurasi. Latour (2005) mengingatkan bahwa aktor non-manusia seperti ruang, pencahayaan, dan display memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk pengalaman karya. Dalam beberapa ruang pamer, terlihat penataan yang masih hierarkis—memberi panggung khusus pada karya tertentu dan meminggirkan yang lain—menciptakan relasi intra-aktif yang mempengaruhi makna akhir karya.

Pertanyaan ini penting karena, seperti ditegaskan Barad (2007) dalam konsep onto-epistemologi, cara kita mengetahui, menjadi, dan bertanggung jawab tidak terpisah. Pameran seni bukan hanya ruang apresiasi, melainkan medan etis yang memerlukan kesadaran akan relasi antar benda, tubuh, dan ruang.

Dalam konteks ARTSUBS, karya berbasis limbah kerap digunakan untuk mengkritik masyarakat, tetapi tidak menyentuh struktur ekonomi seni itu sendiri. Morton (2013) dalam gagasan hyperobjects mengingatkan bahwa fenomena ekologis tidak dapat direduksi menjadi simbol semata, melainkan harus dihadapi dalam keberadaannya yang tak terelakkan. Plastik yang dikurasi dengan estetika tinggi berisiko jatuh pada estetisasi kapitalistik terhadap bencana.

Di sinilah pentingnya membedakan “kritik material” dari “kritik representasional terhadap material”. Grosz (2001) dan Bennett (2010) menunjukkan bahwa paradigma material dapat menggugat dominasi ide, jika relasi benda-tubuh-ruang dipersoalkan secara langsung. ARTSUBS memiliki peluang menjadi ruang kritik material, tetapi saat ini masih condong pada representasionalisme.

Meski demikian, pameran ini tetap penting karena memperlihatkan tarik-menarik antara paradigma lama dan baru. Ia menunjukkan gejala transisi pemahaman seni dari representasi menuju konfigurasi material yang memproduksi realitas. Seperti diingatkan oleh Dolphijn dan van der Tuin (2012), transisi ini adalah momen penting untuk membentuk cara berpikir baru tentang seni dan materialitas.

Akhirnya, Material Ways adalah medan yang belum selesai. Ia penuh retakan, sisa, dan pantulan, mengajak kita mendengarkan dunia dari arah yang lain—dari suara kaca pecah, plastik yang tak membusuk, tanah liat yang menyimpan panas api, gamelan yang mengapung di ladang jagung, dan arit yang melayang di ladang tebu. Melepaskan supremasi pikiran atas benda adalah langkah menuju seni sebagai peristiwa ontologis, bukan sekadar estetis.

Daftar Pustaka

  • Barad, K. (2007). Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning. Durham: Duke University Press.
  • Bennett, J. (2010). Vibrant Matter: A Political Ecology of Things. Durham: Duke University Press.
  • Coole, D., & Frost, S. (2010). New Materialisms: Ontology, Agency, and Politics. Durham: Duke University Press.
  • Dolphijn, R., & van der Tuin, I. (2012). New Materialism: Interviews & Cartographies. Ann Arbor: Open Humanities Press.
  • Bolt, B. (2013). Art Beyond Representation: The Performative Power of the Image. London: I.B. Tauris.
  • Grosz, E. (2001). Architecture from the Outside: Essays on Virtual and Real Space. Cambridge: MIT Press.
  • Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford: Oxford University Press.
  • Morton, T. (2013). Hyperobjects: Philosophy and Ecology after the End of the World. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Leave a comment