ART | EXHIBITION | YOGYAKARTA | 2025
Sebuah ulasan personal oleh Vini Salma Fadhilah.
Ketika Seni Dipertanyakan
“Perang bisa menghentikan dan menghilangkan seni. Tetapi sampai hari ini, seni belum bisa menghentikan perang.” Kutipan Hendro Wiyanto, kurator ARTJOG 2025: Motif ‘Amalan’, dalam sambutan pembukaan seremoni, mengendap cukup lama di benak saya.
Pertama kali mendengar kalimat itu, muncul pertanyaan dan rasa bersalah dalam diri saya. Bagaimana tidak, di sini, hari ini, saya sedang bersenang-senang menikmati pembukaan “lebaran seni” di Indonesia, sementara jauh di sana ada anak-anak, ayah, ibu, yang kehilangan keluarga, harta benda, dan hak hidup mereka, baik karena genosida maupun pemerintahan yang korup.
“Lalu, untuk apa semua ini?”
Trilogi MOTIF ARTJOG 2025: Menggali Konsep ‘Amalan’
Pada Jumat, 20 Juni 2025, lebih dari satu bulan lalu, ARTJOG 2025: Motif ‘Amalan’ resmi dibuka. Dari pembukaan hingga tulisan ini rampung, selain kesibukan, pertanyaan tadi adalah salah satu yang menghantui saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Tahun ini ARTJOG merangkum trilogi MOTIF yang telah dirancang bersama kurator Hendro Wiyanto sejak tahun 2023: ‘Lamaran’ (2023), ‘Ramalan’ (2024), dan ‘Amalan’ (2025). Ketika diwawancarai dalam konferensi pers Road to ARTJOG 2025 di Hotel Majapahit, Surabaya, pada 19 April 2025, Ignatia Nilu—penulis, produser budaya, dan salah satu kurator ARTJOG 2025—menjelaskan secara singkat tentang ketiga motif tersebut.
Pola ‘Lamaran’ berfokus pada konsep relasi dan pertukaran timbal balik. Ignatia Nilu menjelaskan, “‘Lamaran’ di sini bukan hanya tentang pertunangan, melainkan juga ajakan, undangan, atau pendekatan.” Ia menambahkan, “Pola ‘Lamaran’ itu proses kuratorial terbalik di mana semua seniman diundang.” Dengan demikian, pameran ini mengeksplorasi hubungan antara seniman dan dunia, serta antara subjek yang mengundang (kurator, pameran) dan yang diundang (seniman).
Pola ‘Ramalan’ mengajak seniman untuk mengimajinasikan masa depan. Tema ini tidak dimaksudkan untuk meramalkan kejadian secara harfiah, melainkan untuk menggali imajinasi dan harapan seniman tentang kemungkinan yang akan datang. Melalui karya seni, para seniman diundang untuk merenungkan kemungkinan-kemungkinan, harapan, dan kekhawatiran mereka terhadap masa depan, baik dalam konteks sosial, politik, maupun lingkungan.
“Kata ‘amalan’ selalu dikaitkan dengan aktivitas memberi, sementara seniman sering kali dipandang sebagai profesi yang berkontribusi minim pada kehidupan sosial masyarakat,” lanjut Ignatia Nilu.
Momen Pembukaan dan Inovasi Program
Kembali ke sambutan kurator ARTJOG, Hendro Wiyanto, yang saya ceritakan di awal. Ia menjelaskan dengan lebih rinci kemudian, “Tema Motif: ‘Amalan’ sendiri bermaksud untuk membaca ulang praktik artistik dan fungsi dari karya seni, selain memuat nilai estetika. Sementara, ketika fungsi seni dipertanyakan, ia justru terlanjur dibayangkan sebagai tindakan. Makna ‘Amalan’ pada tema ini tidak hanya terbatas pada definisi kamus yang menekankan ‘klise’ pahala, melainkan sebuah laku praksis seniman sebagai subjek aktif pada konteks estetika, sosial, politik, dan sebagainya. Dengan inilah karya seni bisa dipandang sebagai ‘hadiah’ untuk kebaikan hidup bersama di luar kalkulasi laba-rugi dan kerap tidak bisa ditakar nilainya.”
Hendro Wiyanto melanjutkan, “’Amalan’ tidak selalu terlihat langsung dalam suatu karya seni. Ia bisa jadi berbentuk dorongan imajinasi yang terbentuk dari menyaksikan atau mengalami karya, yang nantinya akan mendorong tindakan nyata.” Saat sambutan usai, saya belum sepenuhnya mengamini penjelasan konsep tersebut, sebab perhatian saya harus kembali pada ARTJOG di hadapan saya.

Merangkum rangkaian tema Motif, ARTJOG diselenggarakan hingga 31 Agustus 2025 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Rangkaian acara pembukaan diawali dengan pratinjau pameran bagi tamu undangan dan rekan media, konferensi pers, lalu dilanjutkan dengan seremoni pembukaan pada sore hari yang dihadiri oleh seniman dan para penikmat seni, budayawan, komunitas seni, pejabat pemerintah pusat dan daerah, serta segenap pendukung dari berbagai sektor.
Konferensi pers dibagi ke dalam beberapa sesi, menampilkan bincang seniman bersama para seniman yang berkarya di ARTJOG kali ini, seperti ruangrupa, DEVFTO Printmaking Institute, dan Reza Rahadian yang mengisi program Artist Spotlight.
Dalam konferensi pers, Heri Pemad—pendiri dan Direktur Artistik ARTJOG—memperkenalkan program baru bertajuk Spotlight yang bertujuan untuk membuka kolaborasi antara dunia seni rupa dengan bidang lain.
“Ini (program Spotlight) meneruskan yang tadi—bagaimana publik merasa terlibat dan merasa memiliki event ini dengan melibatkan diri dan berkontribusi di dalam penyelenggaraan. Dengan program Spotlight ini, kami menyediakan ruang bagi siapa saja yang ingin berpartisipasi di dalam ARTJOG. Misal, sebuah lembaga, korporasi, atau institusi ingin mendukung dengan menjadi sponsor, tetapi tidak tahu harus menyajikan booth seperti apa, kami menyediakan ruang dan akan menyambungkan dengan seniman yang karyanya berkorelasi dengan mereka.”

Spotlight kali ini mempresentasikan karya seni instalasi dari Reza Rahadian sebagai bagian dari proyek seni untuk memperingati 20 tahun kariernya dalam dunia seni peran. Berkolaborasi dengan sejumlah seniman dan kreator ternama—seperti Davy Linggar (sutradara), Andra Matin (arsitek), Garin Nugroho (penulis narasi), Kasimyn a.k.a Aditya Surya Taruna (penata musik), dan Siko Setyanto (pengarah Gerak)—karya ini berpijak pada filsafat Yunani kuno, ‘Eudaimonia’, yang dapat diartikan sebagai kebahagiaan sejati yang lahir dari semangat untuk mencapai tujuan bermakna. Instalasi seni ini merupakan momen untuk menemukan keseimbangan hidup, sekaligus menandai proses perjalanan tanpa usai Reza Rahadian, sebagai aktor, dalam memperoleh capaian baru yang bermanfaat bagi orang banyak.
Karya ini salah satu yang paling berkesan bagi saya. Sebuah pengalaman audio-visual yang, saat menontonnya, saya sedikit kaget namun kemudian justru merasa simpati. Interpretasinya begitu luas, sebagaimana diungkapkan Reza Rahadian dalam konferensi pers, seolah ia sedang menyampaikan sesuatu yang tak mampu terucap secara verbal kepada publik. Saya merasakan adanya paradoks dalam satu karya ini: perasaan sakit, takut, sedih, bahagia, yang membalut tipis di permukaan, sekaligus kebanggaan atas apa yang telah dicapai.
Karya ini turut membangkitkan refleksi saya tentang kemelekatan setelah menyaksikan sebuah film atau karya gambar bergerak. Sejauh mana kita menyukai karakternya, dan sejauh mana pula aktor di baliknya? Apakah kedua aspek ini saling bertolak belakang, ataukah karakter itu justru proyeksi asli sang pemeran? Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini tidak penting, ataukah sebaliknya, justru krusial?
Pada penutupan tiga sesi bincang-bincang dalam konferensi pers, moderator meminta kalimat penutup dari tiga narasumber sesi terakhir—Heri Pemad, Gading Paksi (Direktur Program ARTJOG), dan Reza Rahadian. Kalimat dari Gading Paksi adalah yang paling berkesan bagi saya.
“Ada satu pertanyaan yang muncul berulang setiap tahun: kalau mau ke ARTJOG harus mengerti seni enggak sih? Saya kira, kesenian bukan untuk dimengerti, akan tetapi untuk dirasakan. Datang saja, menonton. Seperti yang Mas Reza sampaikan, kami tidak punya ekspektasi akan terjadi diskursus yang cukup berat seperti misalnya, di dalam sana para pengunjung akan melihat karya dengan dahi berkeringat atau mengernyit. Kami upayakan ini adalah festival yang terbuka untuk semuanya.”
Saya, sebagai penulis ulasan seni tanpa latar belakang pendidikan formal seni rupa murni, merasakan kelegaan mendalam. Beban yang seolah menindih pundak saya perlahan meluruh. Siapa atau sejak kapan “tuntutan” untuk memahami seni dan pameran secara penuh itu melekat, saya pun tak tahu.
Penghargaan dan Simbolisme di Balik Seremoni
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan seremoni pembukaan ARTJOG 2025 yang diawali dengan penampilan dari Acapella Mataraman. Selanjutnya, Direktur ARTJOG, Heri Pemad, memberikan sambutan pembukanya yang kemudian disusul kurator tamu, Hendro Wiyanto—yang beberapa kutipannya saya sebut di awal.
Diumumkan pula pemenang Young Artist Award (YAA) 2025. Tim juri yang terdiri seniman Eko Nugroho dan tim kurator ARTJOG memilih tiga dari 16 seniman muda di bawah 35 tahun berdasarkan pada kesesuaian tema, eksplorasi medium, serta kebaruan dalam gagasan dan presentasi. Pemenang YAA 2025 yaitu Faelerie (Wonosobo), S. Urubingwaru (Kediri), dan Veronica Liana (Surabaya).
Seremoni diakhiri dengan sambutan dan pembukaan oleh Sunaryo, seniman sekaligus pendiri Selasar Sunaryo Art Space. Dalam sambutannya, beliau menggarisbawahi bagaimana sebuah festival seni tak sekadar sebagai perayaan estetika, melainkan juga katalisator ampuh untuk menggeliatkan perekonomian lokal dan sektor pariwisata. Sunaryo juga menekankan urgensi keterlibatan aktif masyarakat dan dukungan sinergis dari pemerintah.
Cendera mata Pohon Hayat diberikan kepada Sunaryo sebagai bentuk apresiasi ARTJOG terhadap peran dan kontribusinya dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Peristiwa ini sekaligus menandai ARTJOG 2025 secara resmi telah dibuka. Rangkaian acara pembukaan dilengkapi dengan pertunjukan musik oleh Batavia Collective pada malam harinya di Panggung ARTJOG.

Karya Komisi: Refleksi Lingkungan dan Interaksi Sosial
Pada program pameran utama, ARTJOG secara khusus mengundang Anusapati (Yogyakarta) dan REcycle-EXPerience (Bandung) sebagai seniman komisi untuk menerjemahkan tema Motif: ‘Amalan’.
Anusapati menghadirkan karya instalasi berjudul POHON | KAYU yang menggambarkan masifnya praktik eksploitasi terhadap hutan dan tambang penyebab krisis lingkungan. Di tengah modernitas yang memisahkan manusia dengan alam, Anusapati justru menembus batasan tersebut dengan memanfaatkan pohon atau kayu mati sebagai material utama pada karyanya. Untuk melengkapi, Tony Maryana, seorang seniman suara, merespon instalasi bebunyian untuk membantu menciptakan pengalaman kognitif dan persepsi baru di karya ini.
Pencahayaan redup yang terfokus pada karya seni menciptakan ruang transisi, seolah secara mental saya sedang di-reset dan dipersiapkan untuk karya-karya selanjutnya. Akar-akar pohon besar yang menjuntai dari langit-langit, instalasi rel dan totem-totem kayu, serta suasana muram di area ini menarik saya masuk ke dalam sebuah gua di bawah tanah.

Kontras perspektif terasa saat saya melangkah ke lantai atas. Pohon-pohon yang akarnya tadi menjuntai di atas kepala kini berdiri sejajar dengan pandangan saya. Terlebih, di waktu malam, sorotan lampu instalasi pada batang dan ranting pohon yang ranggas menciptakan jukstaposisi visual yang menarik dengan rimbunnya pepohonan di latar belakang.

Sementara pada program ARTJOG Kids, REcycle-EXPerience menunjukkan bagaimana praktik eksperimen dan bermain dapat bekerja dalam menyikapi limbah padat anorganik yang dihasilkan oleh produk-produk industri yang kemudian menjadi gelombang limbah rumahan. Untuk mewujudkan semangat kebersamaan dan kepedulian, terdapat sebuah karya instalasi interaktif di mana pengunjung dapat menyumbang mainan bekasnya sebagai bagian dari instalasi karya mereka yang berjudul The Love for All Living Creatures. Pengunjung anak-anak juga dapat mengikuti agenda berkarya bersama REcycle-EXPerience dengan membawa limbah anorganik yang bisa dirangkai menjadi karya baru pada sesi tersebut.

Menjelajahi Praktik Kolaboratif: Murakabi, Ruangrupa, dan DEVFTO
Selain seniman komisi, program Special Project juga menghadirkan sejumlah presentasi proyek seni dari Murakabi Movement (Yogyakarta), ruangrupa (Jakarta), dan DEVFTO Printmaking Institute (Bali).
Secara singkat, Murakabi Movement mempresentasikan proyek seni berbasis aktivitas pembelajaran kolaboratif dan interaktif untuk mempertanyakan ulang gagasan mengenai ruang hidup bersama. Menghadirkan elemen konstruksi trasah batu, karya berjudul Tanah Air βeta ini mengingatkan kita pada pentingnya siklus hidup berkelanjutan, dan juga mengajak kita untuk merumuskan ulang hubungan antara tanah, air, dan sesama.

“Secara umum, judulnya memang Tanah Air Beta. Kami sebagai kolektif menyoroti bagaimana orang Indonesia menghargai budaya dan lokalitas mereka. Seringkali kita merasa atau mendengar bahwa sesuatu dari luar atau Barat itu lebih baik, lebih sehat, lebih bagus, lebih suci. Mengapa kita tidak menjadi—kalau istilah Gen Z—alfa, justru hanya berhenti di proses beta saja? Kami ingin mengajak orang untuk melihat kembali budaya lokal. Ambil contoh trasah batu ini: ia tidak menggunakan semen dan bisa menyerap air, cukup bermain kunci-kuncian saja. Ini lebih baik daripada aspal karena pembakaran aspal menghasilkan emisi karbon tinggi, sedangkan ini tidak. Ia juga bisa menyerap air melalui rongga-rongganya. Dengan begitu banyak kebaikannya, mengapa kita tidak menggunakannya sebagai jalan yang kita kenal sekarang? Instalasi ini adalah perayaan air dan tanah, sehingga obrolan-obrolan seperti inilah yang ingin kami munculkan, juga perayaan lokalitas dan penggalian ulang nilai-nilai yang pernah ada. Kita harus kritis melihat modernisme, jangan sampai karena modernisme kita bukannya berevolusi malah berdevolusi,” ungkap salah satu anggota Murakabi Movement sambil menyajikan teh wangi di meja bar di instalasi interaktif mereka.



Saya menikmati dan menghabiskan cukup banyak waktu pada instalasi ini; ia seperti oase di tengah gempuran karya lain yang telah dan akan dinikmati. Menyaksikan tim Murakabi Movement menyajikan minuman dan kudapan sambil bercakap dengan pengunjung di meja bar, serta melihat beberapa pengunjung bermain dengan instalasi tanah di bagian tengah, terasa menenangkan.
Sementara itu, ruangrupa yang berada tepat di samping instalasi Murakabi Movement mengubah ruang presentasinya menjadi sebuah taman belajar bersama yang mengedepankan kekayaan konteks lokal sesuai dengan kebutuhan para peserta. Mengacu pada Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta tahun 1922, ruangrupa menghadirkan model pembelajaran yang tidak bersifat satu arah, melainkan bertumpu pada kolaborasi antara pengajar dan pesertanya. Sebelas peserta terpilih akan dipertemukan dengan para pengajar dari berbagai latar belakang, termasuk seni rupa, film, musik, arsitektur, dan ekonomi, sekaligus mengalami proses belajar yang tidak hanya berlangsung di dalam kelas. Pada akhir periode, setiap peserta diharapkan membuat satu karya yang nantinya dipamerkan pada perayaan ulang tahun ruangrupa ke-25 bulan Oktober mendatang di Jakarta.

DEVFTO Printmaking Institute sendiri adalah sebuah studio cetak seni grafis di Bali yang didirikan oleh Devy Ferdianto pada tahun 2021. Kehadirannya di ARTJOG mencerminkan praktik dan dedikasinya dalam mengembangkan praktik seni cetak grafis dalam medan seni rupa. Berkolaborasi dan menghadirkan karya-karya dari sejumlah seniman ternama seperti FX Harsono, presentasi DEVFTO kali ini tidak hanya menunjukkan kontribusinya bagi para seniman grafis, namun juga membuka ruang bagi publik untuk mendalami perkembangan dunia seni grafis itu sendiri.
“DEVFTO adalah open printmaking studio atau studio terbuka seni cetak grafis yang tugasnya melayani semua seniman. Semoga ini bisa jadi bentuk ‘amalan’ bagi para perupa di Indonesia. Kami punya beberapa program utama, yaitu edukasi yang mengedepankan pemberdayaan seniman lokal. Ini mencakup workshop, artist in residency, serta commisioning dan admissioning—layanan yang mungkin belum banyak dikenal di disiplin ilmu lain. Untuk ARTJOG kali ini, kami mengajak 27 seniman yang masing-masing membuat satu hingga dua karya, sehingga total ada 40 karya yang ditampilkan. Konsepnya—ide dari Mas Pemad—adalah memindahkan studio grafis ke pameran. Ini bukan hal mudah bagi kami. Di ruangan kami, Anda bisa melihat ada mesin kecil, dan nantinya kami akan mengadakan sesi lokakarya. Ada teknik litografi yang masih belum populer, lalu seni cukil lino, dan seni cetak tetrapack yang memanfaatkan kemasan daur ulang sebagai acuan cetak. Untuk litografi ini memang khusus bagi seniman undangan, sedangkan dua teknik lainnya terbuka untuk umum,” ungkap Devy Ferdianto dalam konferensi pers.

Hampir setiap karya yang dipamerkan di ruangan DEVFTO begitu memikat. Saya kerap terhenti, mengagumi visual, teknik, ide, dan narasi yang coba disampaikan oleh para seniman.
Sorotan Karya Pilihan
Beberapa kali mengunjungi festival seni, saya sering merasa lelah atau fatigue, meskipun saya sungguh menikmati setiap karya yang disuguhkan. Saya rasa, untuk benar-benar mengapresiasi semua karya, satu kali menamatkan pameran tidaklah cukup. Kendati demikian, dari sekian banyak yang dihadirkan, saya ingin mengingat kembali beberapa karya yang paling berkesan sejak pengalaman pertama.
Kata-kata dalam karya Syagini Ratna Wulan atau Cagi, The Labyrinth I Become, cukup menggelitik. Cagi menempatkan relasi antara imaji dan mata sebagai objek kontemplasi. Ia menyoroti fenomena Homo digitalis—manusia yang berinteraksi atau bertindak di dunia maya—kini mengalami dekorporealisasi, banalisasi, dan disembodiment of the self. Ini terjadi ketika, dengan hanya menggerakkan jempol, mereka bertindak secara seketika atau refleks, merasa eksis sebagai pengelana global yang mengambang dalam dunia internet tahap lanjut. Setiap kali melewati karya ini, saya melihat banyak orang memotret kata-kata tersebut.

Karya Zuraisa, Trace of Eve’s Good Deeds, berhasil menahan perhatian saya. Ketertarikan pribadi saya pada keramik, khususnya ubin keramik dekoratif, membuat saya mengapresiasinya lebih dalam. Karya ini menampilkan sosok perempuan dengan bentuk tubuh yang kerap dianggap kurang ideal oleh masyarakat. Secara kontras, mereka didampingi figur-figur binatang—harimau dan ular—menghadirkan metafora akan sisi maskulinitas yang tak dipertentangkan secara biner.

Di dekat karya Zuraisa, sebuah instalasi serba putih dari lantai hingga plafon menarik perhatian saya. Itu adalah Rupa Tan Matra karya Veronica Liana, salah satu pemenang Young Artist Award (YAA) 2025. Karya ini mencuri perhatian saya sesederhana karena menggunakan jenis material dan warna yang sama untuk membentuk tiruan benda-benda sehari-hari. Setelah membaca lebih jauh, saya mengamini pesan yang ingin disampaikan seniman.

Saat di hadapan karya ini, saya tak sengaja mendengar percakapan seorang anak perempuan dengan ayahnya. “Pa, ini karyanya belum selesai, ya? Lantainya masih basah.” Pertanyaan polos itu terlontar ketika ia melihat permukaan lantai instalasi memantulkan cahaya layaknya cat basah yang belum kering. Mendengarnya, saya tersenyum—bukan untuk menertawakan karya—melainkan senang mendapati pertanyaan semacam itu di tengah galeri yang sedari tadi saya nikmati sambil terus menaksir maksudnya.
Melalui The Playroom, Darren Chandra, seorang penggambar penyandang Sindrom Asperger sejak usia tiga tahun, menyajikan karya interaktif. Salinan gambar aslinya (50 x 70 cm) diperbesar dan dipasang di dinding, berfungsi sebagai ruang bermain bagi para pengunjung. Dilengkapi kotak spidol warna, karya ini mengundang partisipasi aktif: pengunjung bisa mewarnai, bahkan menambahkan detail atau gambar jenaka. Ini merupakan perwujudan nyata dari visi Heri Pemad untuk menjadikan pengunjung bagian integral dari ARTJOG, melibatkan mereka secara langsung dengan karya yang dipamerkan.

Tubuh Amalan karya Yoshi Fajar Kresno Murti menampilkan potongan tajuk—struktur kubah/menara—dari Masjid ‘Adz-Dzakirin’ yang direnovasi di Dusun Clumprit, Samigaluh, perbukitan Menoreh, kampung halamannya. Karya ini berakar pada gotong royong warga dusun yang mengerahkan segala daya untuk masjid mereka. Yoshi Fajar mengkritisi, warga tak memahami ‘amalan’ sebagai sebuah motif terpisah, melainkan hidup dan laku mereka sendirilah perwujudan amalan. Melengkapi instalasi, sebuah kotak amal disediakan, memungkinkan pengunjung berdonasi dan turut menjadi bagian dari proses pembangunan masjid ini—sebuah cara nyata untuk melibatkan partisipasi publik dalam seni.
Jika Echoes of Disquiet karya Indah Arsyad bertujuan membuat pengunjung merasakan—sekiranya—bagaimana rasanya menjadi makhluk hidup di air dalam kondisi ekologis saat ini, maka karya ini bisa saya katakan cukup berhasil.
Pulse of Togetherness karya Sultan Putra Gemilang menekankan interaksi dan partisipasi antara pengunjung dan karya di dalam sebuah pameran. Karya ini merupakan pengembangan dari karya hasil residensinya di Aomori, Kota Hachinohe, Jepang pada tahun 2024 lalu. Dalam karya ini Sultan mendayagunakan alat tukar mata uang koin. Dari risetnya, Sultan—akrab dipanggil Gilang—melihat uang koin, yang sering dianggap receh, bukan sekadar alat transaksi. Ia meyakini koin melambangkan niat dan harapan manusiawi, memiliki dimensi lebih dalam ketimbang nilai nominalnya.

Di Jepang, ada tradisi lama bernama Omikuji. Di tempat-tempat suci Shinto atau Buddha, orang mengambil secarik kertas nujum (orakel) setelah memasukkan koin ke kotak donasi. Adat dan peristiwa inilah yang menginspirasi ide Sultan dalam berkarya.
Sepasang telapak tangan tengadah berukuran raksasa, dilukis di atas susunan keramik pada karya ini, menggambarkan ruang simbolik yang menghimpun nilai-nilai universal seperti harapan, kerja keras, dan doa. Gaung bersahutan dari benturan koin yang dilempar pengunjung saat menyentuh permukaan keramik menyadarkan kekuatan koin sebagai himpunan, bukan sekadar recehan yang cerai-berai. Koin-koin tersebut nantinya akan didonasikan sebagai bentuk kontribusi atau ‘amalan’ dari seniman.










Renungan Penutup: Memaknai Kembali Fungsi Seni
Karya-karya yang saya ulas singkat ini hanyalah sebagian kecil dari gelaran ARTJOG 2025. Setelah merunut kembali jejak karya paling berkesan, saya menemukan jawaban sementara atas pertanyaan saya di awal: untuk apa kita berkesenian di tengah ketidakmampuan seni menghentikan masalah krusial seperti perang?
Barangkali, berkesenian adalah manifestasi rasa syukur. Kita dianugerahi hidup yang cukup nyaman untuk memikirkan hal-hal di luar kebutuhan dasar—seperti akses mudah pada makanan, tempat tinggal layak, dan terbebas dari ancaman bom saat tidur. Dengan anugerah ini, kita memiliki kekuatan untuk menyuarakan mereka yang tertindas, menghadirkan karya yang memprovokasi pertanyaan dan mengusik zona nyaman.
Informasi Program Publik dan Tiket Masuk ARTJOG
Selain di dalam ruang pamer, performa•ARTJOG yang didukung sepenuhnya oleh Bakti Budaya Djarum Foundation akan hadir setiap minggu selama pelaksanaan ARTJOG 2025. Di samping menghadirkan penampil dari panggilan terbuka, performa•ARTJOG secara khusus mengundang Bottlesmoker (Bandung) bersama Rumah Atsiri Indonesia sebagai seniman komisi untuk menerjemahkan tema Motif: Amalan melalui seni pertunjukan. performa•ARTJOG juga bekerja sama dengan sejumlah produser pertunjukan untuk menghadirkan beberapa pertunjukan spesial, seperti bersama Garasi Performance Institute menampilkan karya dari Ishvara Devati (seniman performans) dan Lembana Artgroecosystem (komunitas seni dan agrikultur), kemudian bersama Liquid Architecture menghadirkan pertunjukan dari Tralala Blip (grup musisi difabel asal New South Wales), dan IFI Yogyakarta dengan penampilan Ko Shin Moon (proyek musik elektronik) dan Rouge.
Selama penyelenggaraan, ARTJOG 2025 – Motif:Amalan didukung oleh program-program khas, seperti Exhibition Tour, Meet the Artist, performa•ARTJOG, ARTJOG Kids, Peluncuran dan Bedah Buku, Merchandise Project, Artcare Indonesia, Jogja Art Weeks, dan Love 🤟 ARTJOG. Terdapat pula program baru, antara lain Special Project, Spotlight, dan The Others Lab.
Tiket masuk ARTJOG bisa didapatkan melalui website dan loket di lokasi dengan harga Rp80.000,00 (dewasa) dan Rp50.000,00 (anak-anak). Informasi lebih lanjut mengenai jadwal dan program dapat diakses melalui media sosial dan website ARTJOG.

Leave a comment