ART | RESIDENCE AND EXHIBITION | 2024
“Tindakan sederhana seperti ini membawa makna yang tak terlihat; koin menjadi penghubung antara dunia material dengan spiritual. Ia menggambarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang bisa dipengaruhi oleh niat baik, meskipun hanya melalui benda kecil yang kita sering abaikan.”
Atmosfer di Pos Randu 11
Rumah yang sederhana dan kecil, setengah ruangan tamunya dipenuhi oleh anak muda, mahasiswa, dan seniman, pada sore itu setelah hujan lebat mengguyur Driyorejo, Kota Gresik. Tepat pada hari Minggu, 24 November 2024, saya mendatangi kegiatan yang diinisiasi Kecoaktimur, kolektif seni yang tinggal di pinggiran Kota Surabaya, dalam acara Presentasi Hasil Residensi Seniman bernama Sultan Putra yang bertajuk “Roots & Rhythms” di Pos Randu 11, nama baru atau tempat yang biasa digunakan oleh mereka berbagai kegiatan dari workshop, presentasi, studio bersama, sampai menonton bioskop bersama warga sekitar. Ruang tamu tersebut disulap menjadi ruang berbagi mulai dari berbagi pengetahuan buku-buku yang tertata rapi di sebuah rak di pojok ruang, meja yang menjajakan merchandise, hingga sorotan proyektor seperti co-working space pada umumnya, tetapi bedanya ruangan ini lebih intim dengan adanya tikar tradisional dan suguhan hangat yang mereka sediakan; seperti bertamu di rumah tetangga.
Suasana hangat dengan audiens yang seadanya, presentasi berlangsung dengan santai, tapi serius. Gilang, sapaan akrab Sultan Putra Gemilang, adalah seniman muda yang berasal dari Sidoarjo, akan tetapi setiap harinya bekerja dan hidup di Surabaya. Pada bulan September- Oktober akhir kemarin, ia selesai mengikuti residensi di Jepang, tepatnya di Aomori, Kota Hachinohe. Karya-karyanya mengeksplorasi tentang narasi sejarah, kelokalan hingga isu sosial dengan eksekusi pendekatan Relational Aesthetic. Gilang percaya bahwa karyanya bisa berkolaborasi dan berkoneksi dengan publik.

Bagi saya, peristiwa semacam ini adalah bentuk kecil geliat peristiwa yang juga perlu dibagikan untuk pengetahuan baru dan kegiatan semacam ini tidak sering terjadi di daerah. Tentu, kegiatan semacam ini bisa terjadi berkat pegiat kebudayaan yang aktif dan peduli akan ekosistem seni yang berlangsung di daerah. Dalam kegiatan kali ini, Kecoaktimur mengambil peran. Sistem Daya Guna Ruang (SDGR) adalah program yang diinisiasi Kecoaktimur dalam mendistribusikan, membagikan, dan mendialogkan kegiatan atau peristiwa seni yang dianggap perlu dibagikan dan memiliki nilai kebermanfaat bagi masyarakat luas dan khususnya publik seni.
Tujuan utama dari kegiatan SDGR adalah menyampaikan gagasan dan pesan seniman kepada publik. Melalui bincang seniman seperti ini, kita mengetahui apa yang dipikirkan oleh seniman dibalik karyanya, mengetahui bagaimana cara kerja seniman, bagaimana seniman berkarya, dan bagaimana cara seniman mempromosikan karya seninya.
Diskusi santai yang mereka adakan kali ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman publik terhadap karya seni melalui dialog yang mendalam antara seniman, kurator, dan audiens. Kegiatan ini memberikan ruang bagi seniman untuk menjelaskan proses kreatif, inspirasi, serta pesan yang ingin disampaikan melalui karya mereka, sambil membuka kesempatan bagi audiens untuk bertanya, memberikan interpretasi, dan berbagi perspektif. Selain memperkaya apresiasi seni, diskusi ini juga menjadi medium pertukaran ide, refleksi bersama, dan penguatan hubungan antara sektor seni budaya. Dengan demikian, bincang seni tidak hanya meningkatkan literasi seni, tetapi juga membangun koneksi emosional dan intelektual yang memperkuat relevansi seni dalam kehidupan sehari-hari.


Dari bentuk kegiatan di atas saya membuat kesimpulan sementara mengenai apa yang ingin disampaikan melalui acara ini oleh Kecoaktimur; mereka ingin mewadahi seniman meskipun hanya dengan ruangan kecil sederhana yang mereka miliki.
Artist in Residensi Hachinohe : Roots and Rhythms

Bagi yang belum familiar dengan apa yang dimaksud dengan residensi seni, residensi seni adalah sebuah program yang dirancang untuk memberikan kesempatan kepada seniman, penulis, peneliti, atau kreator lainnya untuk mendalami praktik kreatif mereka di lingkungan baru. Seniman tinggal di tempat baru untuk memulai penelitian singkat dari satu sampai tiga bulan, bahkan bisa sampai bertahun-tahun tergantung program yang diikutinya. Mereka memulai aktivitas berkarya, meneliti sampai membuat presentasi akhir di tempat tersebut. Residensi biasanya melibatkan waktu dan tempat tertentu baik di dalam negeri atau pun di luar negeri untuk mengeksplorasi ide, kolaborasi, eksperimen, atau menciptakan karya yang terinspirasi dari konteks lokal, budaya, atau komunitas setempat.
Pada kesempatan residensi kali ini, Gilang diundang secara langsung oleh AIR-Hachinohe yang berdiri sejak 2017. AIR-H memiliki sebuah program residensi port to port di Kota Hachinohe. Selama program berlangsung, mereka mengundang seniman dari Asia Tenggara dan kebanyakan berasal dari Filipina. Kali ini, untuk pertama kalinya mereka mengundang seniman dari Indonesia. AIR-H memiliki sebuah organisasi proyek seni yang di buat oleh seniman dan profesor yang mengajar di salah satu perguruan tinggi di Kota Hachinohe, yaitu Higashikata Yuhei.



“Dalam konteks seni rupa, residensi juga sering memberikan ruang bebas pada seniman tanpa tekanan hasil akhir, sehingga seniman dapat mengeksplorasi medium baru, memperdalam penelitian atau menciptakan karya yang berbasis konteks lokal dan bermakna. Selain itu juga residensi sering kali menjadi platform untuk berjejaring dengan seniman, kurator, komunitas dan juga mempelajari budaya baru untuk membangun pemahaman lintas budaya”, ujar Gilang.
“Roots and Rhythms” adalah tajuk yang dipilih oleh Gilang sebagai seniman dan Yuhei sebagai fasilitator. Residensi ini sudah dibicarakan sejak bulan Mei 2024. Setelah pengamatan yang dilakukan oleh Yuhei, ia membaca bahwasannya Gilang adalah seniman yang karyanya berjalan pada narasi sejarah dan tradisi. Empat sampai lima tahun belakangan ini, karya-karya Gilang memang memiliki muatan sejarah. Pameran terakhirnya tampil di pameran “NAWASENA” yang di selenggarakan di Rumah Budaya Sidoarjo.
Mengutip tulisan Afrizal Malna di borobudurwriters.id, ”Karya Gilang memantulkan tema kehancuran situs-situs sejarah melalui instalasinya ‘Meratap di Antara Tanah: Elegi atas Kehancuran’. Bahwa setiap saat situs-situs sejarah bisa hancur karena berbagai sebab. Bagaimana generasi masa depan menghadapi sejarah dengan kemungkinan terjadinya kehancuran situs-situs masa lalu? Instalasi ini menggunakan banyak material maupun medium. Berisi peti-peti, sebagian berlaci yang di dalamnya terdapat potongan patung kepala dalam tipologi stereotip sosok arca, wajah Budha, sosok kepala ulama yang sebagian tertimbun debu. Dalam instalasi ini juga terdapat beberapa lukisan berukuran kecil, dan sebuah lukisan kaca yang menampilkan layar lain di belakangnya. Instalasinya merepresentasi museum sebagai dokumentasi kehancuran dengan taburan debu sebagai representasi materialnya”.
Refleksi Karya Hasil Residensi
Di belakang seniman, ada gagasan yang ingin diutarakan sebagaimana halnya pada residensi kali ini, Gilang membuat karya dari riset singkat di Kota Hachinohe yang dimana kota ini mempunyai kesamaan dengan tempat tinggalnya, Surabaya. Kota yang sama-sama memiliki pelabuhan dan kota industri. Disisi lain, selama tinggal di Hachinohe ia tidak menyentuh sisi industri kota tersebut di mana ia memilih mengunjungi tempat ibadah, hutan kota, dan memilih menyepi. Dari mengamati peran masyarakat di Kota Hachinohe, ia menemukan hal kecil yang menarik; ia menemukan sesuatu dari bagaimana orang Jepang memperlakukan uang koin di mana terkadang bagi sebagian besar orang Indonesia, uang receh sering dianggap merepotkan untuk dimiliki atau digunakan untuk bertransaksi. Dari pengamatan mengenai peran koin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hachinohe, koin bisa memiliki dimensi yang lebih dalam di luar nilai ekonominya. Di berbagai kebudayaan, koin dijadikan bagian dari ritual, doa, dan permohonan.
Dalam kehidupan modern yang mengedepankan efisiensi, menyimpan uang koin adalah hal yang cukup merepotkan karena memakan banyak ruang. Akan tetapi, di sini koin Yen lebih dari sekadar alat pembayaran; ia menjadi bagian dari ritual, kesungguhan, dan simbol keberuntungan. Koin yang dilempar ke sumur, kolam air, atau pohon telah menjadi kebiasaan yang berakar dalam budaya. menciptakan hubungan yang kuat antara benda material dan harapan manusia. Di balik kemegahan kota yang modern, koin hadir sebagai bagian dari cara manusia mengungkapkan sisi spiritualnya.
Dalam menelusuri makna koin ini, ia menemukan perspektif yang lebih tentang apa yang koin wakili. Ternyata, bagi sebagian orang, setiap koin yang diberikan atau ditempatkan dalam suatu tempat adalah medium untuk melepaskan harapan, doa, atau permohonan. Misalnya, ada kebiasaan meletakkan koin di shrine atau kuil sebagai simbol penghormatan dan doa. Tindakan sederhana seperti ini membawa makna yang tak terlihat; koin menjadi penghubung antara dunia material dengan spiritual. Ia menggambarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang bisa dipengaruhi oleh niat baik, meskipun hanya melalui benda kecil yang kita sering abaikan. Di balik fungsi koin sebagai simbol spiritual, ada kritik halus terhadap kecenderungan materialisme modern. Sebagai alat transaksi, koin sering kali mewakili nilai ekonomi yang terbatas, namun ketika dipandang sebagai simbol, koin dapat menjadi refleksi dari nilai yang lebih dalam.
Ditulis oleh: Topan Roszok (Kecoaktimur)
Disunting oleh: Readesign Magazine

Leave a comment