Segue: O. H. Supono – Supercuts of Life  

ART | EXHIBITION | SURABAYA | 2024 

Tokoh-tokoh seniman pada masa kemerdekaan hingga dasawarsa 1980-an yang menjadi bagian dari sejarah seni rupa Indonesia rata-rata hampir lenyap dari memori publik, baik publik kesenian secara khusus maupun masyarakat umum, terutama generasi yang lebih muda. Sebagai suatu upaya untuk mengangkat kembali tokoh seniman atau perupa penting dari sejarah seni rupa Indonesia dan sebagai wahana untuk melihat ulang alur perkembangan seni rupa, khususnya kehidupan seni rupa di Surabaya, Segue digelar kembali sebagai program inisiatif tahunan. Pameran Segue: O. H. Supono – Supercuts of Life dibuka pada tanggal 19 September 2024 dan berlangsung hingga 13 Oktober 2024. 

Segue pertama kali digelar pada tahun 2022 sebagai pameran yang merepresentasikan perjalanan 20 tahun Orasis di Surabaya dengan menampilkan karya-karya koleksi seniman terbaik Indonesia yang pernah berpameran atau terlibat dalam program di Orasis. Hal ini dilakukan sebagai wujud komitmen Orasis dalam membina dan menghormati kontribusi jangka panjang para seniman tersebut. 

Wicaksono Adi sebagai kurator pameran Segue kali ini, memilih karya-karya O.H. Supono yang telah mencapai kematangan dalam arti mencerminkan kemampuan teknis maupun pendekatan visual yang memanifestasikan tendensi artistik seniman. Dipilihnya Wicaksono Adi sebagai kurator bertujuan agar pameran ini tetap memegang teguh warisan estetik dari O.H. Supono, tetapi tetap komunikatif dan relevan bagi generasi-generasi yang lebih muda. 

Tentang O.H. Supono dan Pameran Supercuts of Life 

Raden Oegeng Heru Supono atau lebih dikenal dengan nama O.H. Supono atau Pak Pono, adalah pelukis asli Surabaya yang lahir pada 14 Juli 1937, yang menjadi salah satu tonggak seni rupa Surabaya era tahun 1980-an bersama dengan Amang Rahman, M. Daryono, Krishna Mustajab, M. Roeslan, Rudi Isbandi, Lim Keng, dan Tedja Suminar.  

Karya Pak Pono telah dikoleksi oleh berbagai museum baik museum di Indonesia maupun museum mancanegara, seperti museum Fukuoka di Jepang, museum Darwin di Australia, museum Fatahillah di Jakarta, dan museum Neka di Bali. Bukti lain dari kedigdayaan Pak Pono sebagai seniman adalah ketika karya-karyanya turut meramaikan proyek KIAS (pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1990-1992) dan ketika ia membuka “Galeri OH Supono” di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1980-an. Saat itu—bahkan sampai saat ini—TIM adalah tempat yang “sakral” bagi seniman sehingga tercipta ungkapan bahwa seorang seniman belum sah menjadi seorang seniman sukses jika belum pernah tampil di TIM. 

Beliau dikatakan layak untuk mendapatkan judulkan “Pelukis Bertangan Emas” karena selain kepiawayannya dalam berkesenian yang tidak hanya di seni lukis, tetapi juga dalam seni patung, batik kontemporer, hingga desain pertamanan, beliau juga dikenal piawai dalam menjual karyanya dengan baik. 

Hal tersebut sejalan dengan prinsip yang diyakininya, “Ketika berhadapan dengan kanvas, maka saya itu pelukis. Tetapi ketika lukisan sudah jadi, saya adalah pedagang.” Artinya, Pak Pono memang menguasai dua keterampilan itu sekaligus. Jika mengutip apa yang pernah dikatakan Andy Warhol, “Being good in business is the most fascinating kind of art,” maka tentu hal tersebut adalah hal yang baik bagi seorang seniman.  

Sejak awal abad 20, Bali telah menjadi salah satu destinasi seniman untuk mencari inspirasi dalam berkarya, baik seniman Indonesia maupun mancanegara. Hal tersebut dikarenakan bagi orang luar Bali, adegan kehidupan keseharian masyarakat Bali adalah perpaduan artistik yang khas dan indah. Begitu juga dengan Pak Pono yang selama beberapa tahun menetap di Bali dan menghembuskan nafas terakhirnya di pulau ini. 

Koleksi karya yang dipamerkan di pameran Segue kali ini mewakili beberapa periode karir Pak Pono sebagai seniman salah satunya adalah seri Odalan dan seri Borobudur. Odalan adalah ritual peribadatan yang dilakukan bersamaan dengan hari jadi sebuah pura atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Sedangkan seri Borobudur terinspirasi dari kisah-kisah dalam relief di Candi Borobudur. 

“Di sini, yang digambar itu bukan adegan kolosal prosesi Odalan, tetapi yang ia cari saat itu ialah aspek kontemplatifnya,” Wicaksono Adi menjelaskan lukisan seri Odalan dalam guided tour di hari pembukaan pameran. “Hal ini menjadi contoh bahwa bagaimana satu hal yang sama, tetapi dilihat dengan berbagai cara yang berbeda. Ini lah yang saya sebut sebagai pendekatan semi-abstraksi. Kita memperoleh pemahaman bukan dalam konteks mencari artinya apa, tetapi bagaimana ketika melihat hal tersebut, ada sesuatu yang terkoneksi seperti semacam situasi, atmosfer, dan suasana yang kita peroleh dari sana. Sementara, hal tersebut setiap hari yang kita dapat bisa saja berbeda sehingga tidak akan ada habisnya. Itu lah salah satu aspek yang menarik dari Pak Pono,” jelasnya lebih lengkap. 

“Contoh lain, misalnya, ketika melukis tentang tarian, bukan penarinya yang digambarkan, tetapi geraknya. Kita merasakan sesuatu dari suatu atmosfer, bukan kesempurnaan bentuk fisik gambarnya. Yang ia gambar adalah substansi-substansi intinya secara spiritual, bukan fisiknya.” 

“Tidak ada pergeseran estetis antara karya Pak Pono ketika ia menetap di Surabaya dan ketika ia pindah menetap di Bali. Selalu, objek itu dilukis hari ini dengan situasi hari ini nanti dilukis berpuluh tahun kemudian akan berbeda,” jelas Wicaksono Adi ketika ditanya mengenai ada tidaknya pergeseran estetis karya Pak Pono ketika ia menetap di Surabaya dan di Bali. 

“Jika dikelompokkan ke dalam periode, periode-periode tersebut hanya objeknya saja yang berbeda, cara gambarnya yang berbeda, akan tetapi pendekatannya, cara ia memahami objek, cara ia memahami realitas, itu sama; ingin mendapatan intensitas. Dan metode ini baru ditemukan Pak Pono ketika ia sudah 15 tahun berkarya.” 

Wicaksono Adi menjelaskan bahwa Pak Pono mengambil dimensi paling sugestif hingga menjadi semacam montase dari bagian paling inti dari objek-objek untuk menampilkannya secara intens agar spiritnya benar-benar terasa. Dalam bahasa sekarang, cara semacam itu dapat disebut sebagai “supercut”. Satu istilah yang lahir dari dunia audio-visual. 

Program Pendukung Pameran Segue: O. H. Supono – Supercuts of Life 

Selama pameran berlangsung sampai tanggal 13 Oktober 2024, berbagai program publik pendukung dibuat, seperti Segue Kids Coloring Competition, Crayon Pattern with Watercolor, Slow Looking Tour, Draw Us Closer, dan Satellite Program berupa forum diskusi terbuka tentang museum, bertepatan dengan Hari Museum Nasional. Buku The Impression of O.H. Supono yang ditulis oleh Sandiantoro dan diluncurkan oleh pihak keluarga O.H. Supono pun dijual di Orasis Corner.  

Pop-Up Cafe selama pameran Segue kali ini berkolaborasi dengan Pause Coffee dan Lull Bakehouse. Menu-menu yang disajikan dibuat khusus merespon karya-karya Pak Pono yang dipamerkan. 

Semua foto oleh Orasis Art Space.