DESIGN | INTERIOR – FURNITURE & TEXTILE | BALI – SURABAYA | 2024
Sejak tahun 2022, CushCush Gallery Bali berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia (The Embassy of France in Indonesia) dan Institut Français d’Indonésie (IFI) menghadirkan program Artist Designer in Residence (ADIR). Pada tanggal 28 April – 3 Juni 2024, ADIR edisi ketiga diselenggarakan dengan tema “Threading Design and Narratives: Echoing Tradition Towards Timeless Design” dan menghadirkan Clémence Plumelet dan Geoffrey Pascal, duo desainer dari Marcel Poulain Studio, Paris, sebagai desainer residen.
Tentang CushCush Gallery Bali
Didirikan oleh desainer interior Suriawati Qiu dan arsitek Jindee Chua, CushCush Gallery merupakan bagian dari Sekaa Citta Karya, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Denpasar. CushCush Gallery dirancang sebagai sebuah platform untuk menghadirkan kolaborasi kreatif dalam desain dan seni kontemporer. Galeri ini merupakan galeri alternatif yang merangkul interaksi dan merayakan kreativitas multidisiplin melalui eksplorasi persimpangan seni, desain, materialitas, teknik, dan kerajinan. CushCush Gallery menjadi tuan rumah bagi seniman, para kreatif lokal, dan internasional yang sedang naik daun dan mapan untuk menyajikan program desain dan seni kontemporer yang berkualitas, untuk memperkaya pengalaman mereka di Bali. Melalui program pameran, residensi, dan kolaborasi yang dikurasi sepanjang tahun, CushCush Gallery memfasilitasi pertukaran antara komunitas seniman dan kreatif internasional dan Bali.
Tentang Program ADIR 2024
Budaya dan tradisi artistik Bali yang unik sangat erat kaitannya dan telah memukau banyak seniman, antropolog, dan akademisi budaya internasional sejak tahun 1920-an. Salah satunya adalah antropolog, pelukis, dan penulis buku antropologi “Island of Bali”, José Miguel Covarrubias. Seiring dengan semakin cepatnya akses informasi, Bali menjadi salah satu tujuan wisata utama dunia, dan identitas Bali tidak dapat dipisahkan dari keterbukaannya terhadap dunia.
Program Artist Designer in Residence (ADIR) disusun dengan keyakinan bahwa kreativitas dapat dipupuk dan diperkaya oleh pertemuan budaya yang berbeda, orang-orang dari segala penjuru dan pandangan dunia yang berbeda. ADIR bertujuan untuk membawa interpretasi segar dan kontemporer dari kebudayaan dan kerajinan Bali yang unik lewat desain Prancis yang terkenal akan orisinalitas dan seleranya yang tidak diragukan lagi.
Para desainer Prancis diundang untuk membenamkan diri (immerse) ke dalam budaya Bali yang unik selama satu bulan sambil menemukan bahan-bahan alami dan teknik tradisional pulau ini dalam dialog langsung dengan para pengrajin Bali. Berdasarkan eksperimen dan interpretasi mereka, para desainer akan menciptakan koleksi benda-benda sebagai respon sensitif terhadap pengalaman unik ini. Koleksi ini akan diproduksi sebagai hasil kolaborasi antara para desainer dan CushCush Gallery yang kemudian akan dipresentasikan di berbagai pameran serta acara desain di Indonesia dan Prancis.
Residensi ini diselingi dengan serangkaian presentasi, diskusi, dan lokakarya untuk memberikan kesempatan kepada para desainer untuk terlibat langsung dengan komunitas kreatif lokal dan publik. Melalui program ini, para desainer mendapat kesempatan untuk merasakan dan mengapresiasi kekayaan budaya Indonesia, serta menggabungkan elemen-elemen tersebut ke dalam karya-karya mereka.
Selama satu bulan residensi, Marcel Poulain Studio mengunjungi berbagai tempat yang membuka wawasan mereka mengenai keadaan dan keindahan alam Bali, arstitektur, seni, situs sejarah, dan berinteraksi langsung dengan para pelaku atau orang yang ahli di bidang-bidang tersebut.
Tempat-tempat yang dikunjungi oleh Marcel Poulain Studio selama residensi di antaranya adalah situs Gunung Kawi di Tampaksiring; Kintamani untuk menyaksikan pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur; Pura Ulun Danu Batur, salah satu dari 9 pura terpenting di Bali; Julah, salah satu desa paling kuno di Bali, tempat tinggal Bali Mula, penduduk asli pulau ini; Surya Indigo, sebuah studio tekstil; Dapur Bali Mula, di Desa Les; kaki Gunung Agung, gunung paling suci di Bali; lembah subur Sidemen; kompleks istana Klungkung; pasar Klungkung untuk menjelajahi lebih jauh tradisi kerajinan termasuk menenun, kerajinan kuningan, kerajinan perak, dan pembuatan perhiasan; studio pengrajin logam milik Pak Nengah Patra; desa Bali Aga di Tenganan, rumah bagi tradisi dan adat istiadat yang unik; desa Singapadu, yang terkenal dengan pembuatan topeng tradisionalnya; seni pertunjukan Bali di Sukawati, yang terkenal dengan wayang kulitnya; dan diakhiri dengan mengunjungi sanggar milik I Ketut Sudiana, pewaris keluarga dalang yang kakek buyutnya memiliki hubungan erat dengan istana kerajaan Klungkung.
Sebagai puncak dari residensi ini, para desainer memberikan presentasi mengenai perjalanan mereka di Bali dan proses kreatif mereka dalam meramu konsep koleksi mereka. Setelah acara di CushCush Gallery, para desainer memulai roadshow selama satu minggu yang membawa mereka ke kota-kota besar di antaranya adalah Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, untuk terus berbagi perjalanan inspiratif mereka dengan komunitas kreatif dan para profesional.
ADIR 2024 sendiri merupakan lanjutan dari kesuksesan dua edisi sebelumnya, yang membawa perhatian terhadap potensi kerajinan Bali dalam lingkup desain Prancis dan kancah internasional.
Desainer residen ADIR edisi pertama, Marta Bakowski, memenangkan Penghargaan French Design 100 atas koleksi “Fragments: Impressions of Bali” yang luar biasa nan puitis, koleksi yang ia ciptakan sebagai puncak dari residensinya. Penghargaan ini merupakan satu-satunya di Prancis yang diberikan kepada proyek desain yang membuat desain Prancis bersinar di panggung internasional.
Desainer residen ADIR edisi kedua, Pierre Charrié, mempersembahkan koleksinya bertajuk “Niskala: Forms of the Unseen” sebagai bagian dari Paris Design Week pada tanggal 5-9 September 2024. Niskala membawa kita pada perjalanan ke dunia misterius di mana makhluk-makhluk mitos menjelma menjadi benda-benda kerajinan tangan yang indah dan furnitur dengan desain yang dapat dikoleksi. Dikonsep sebagai triptyque di mana setiap objek menyoroti kearifan lokal Bali dan material lokal yang berbeda, koleksi ini terbentang seperti sebuah cerita dalam tiga bab, memperkenalkan karakter yang berbeda satu sama lain. Dalam permainan kontras yang semarak, koleksi ini menampilkan keluwesan kerajinan Bali melalui prisma desain kontemporer.
Roadshow Surabaya
Kota pertama yang dikunjungi dalam rangkaian roadshow ADIR 2024 adalah Surabaya. Berlangsung selama satu hari pada tanggal 27 Mei 2024, agenda pertama Marcel Poulain Studio bersama tim ADIR 2024 dan pendiri CushCush Gallery (Suriawati Qiu dan Jindee Chua) adalah Design Talk yang berkolaborasi dengan Jurusan Arsitektur Universitas Ciputra. Di samping Design Talk, konferensi pers, dan pameran foto yang berisi potret kegiatan duo designer Marcel Poulain selama residensi di Bali, digelar pula pameran kursi karya mahasiswa Universitas Ciputra yang memiliki konsep atau tema serupa.


Dalam Design Talk, Clémence Plumelet dan Geoffrey Pascal menjelaskan tentang karya-karya mereka terdahulu, filosofi desain yang mereka pegang, pengalaman mereka selama program residensi, dan ditutup dengan sesi tanya jawab.

Usai Design Talk di Universitas Ciputra, Marcel Poulain Studio bersama tim ADIR 2024, tim CushCush Gallery, dan tim IFI Surabaya mengunjungi Orasis Art Space untuk bertemu dan berjejaring dengan para desainer Surabaya. Orasis sebagai venue partner menjamu tim ADIR 2024, CushCush Gallery, dan seluruh tamu undangan dengan baik. Para desainer yang hadir di antaranya adalah Hermawan Dasmanto – arsitek-desainer Orasis Art Space, ketua dan beberapa anggota HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia) Jawa Timur, beberapa akademisi dan praktisi desain-arsitektur di Surabaya, serta studio furnitur seperti WOF Wooden dan Santai Furniture. Dari pertemuan ini, diharapkan terjadi pertukaran wawasan; saling terinspirasi dan menginspirasi.


Tentang Marcel Poulain Studio dan Narasi Tradisi dalam Menciptakan Timeless Design bagi Mereka
Clémence Plumelet dan Geoffrey Pascal, keduanya merupakan desainer tekstil dan furnitur lulusan dari Design Academy Eindhoven di Belanda, yang mendirikan studio desain dan interior mereka sendiri yang diberi nama Marcel Poulain pada tahun 2021.
Pada tahun 2018, Geoffrey Pascal mendesain seri furniture dengan judul “Grafeiophobia”, yang secara harfiah berarti “takut pada meja kerja”. Seri furnitur ini terinspirasi dari bagaimana orang dapat menjadi lebih produktif dan kreatif ketika bekerja dari posisi yang nyaman di tempat tidur mereka.
Pada tahun 2019, Geoffrey terlibat menjadi salah satu tim desainer dalam proyek “Acid Baths (a.k.a Homegrown Metal)”. Proyek ini mengembangkan proses galvanis yang memungkinkan mereka mengembangkan logam yang kompleks dan kuat agar bisa memproduksi komponen kelas atas (high-end), baik secara fungsional maupun dekoratif. Proyek ini melibatkan desain lampu, meja, dan vas.
Geoffrey juga pernah berkolaborasi dengan Moreau Kusunoki dalam proyek-proyek seperti Powerhouse Parramatta dan Courthouse Toulon.
Di tahun yang sama, Clémence Plumelet mendesain seri aksesoris rumah dan kain tenun Damask yang terinspirasi dari kotak perhiasan Italia pada awal abad ke-20 yang diberi judul “Portagioie”. Dengan marquetry jerami dan tenunan sutra Damask, Clémence memulai perjalanan dan dialog antara masa lalu dan masa kini dalam industri kerajinan Italia.
Pada Design Talk ini, Clémence juga mengungkapkan bahwa ia selalu tertarik pada bagaimana tekstil dan material dapat diolah menjadi sesuatu yang konkret dan fungsional.
Dalam acara pertemuan dan berjejaring dengan para desainer di Surabaya, Readesign Magazine berkesempatan untuk berbincang singkat dengan Geoffrey Pascal.
What is the most exciting or inspiring thing about the residence program (Hal apa kah yang paling menyenangkan atau menarik dari program residensinya)?
I would say all the traditions and the know-how, the people, and the transition of it from generation to generation. Actually, a mindful process of knowledge. The most inspiring thing must be the talk. The conversations we had with people were more than the object or the things, it was more like the exchanges that had led us to inspirations and ideas. And then, of course, we are really interested in the source of the talk we made, the tools they were used, and the time production. The way people work is very different from people in France and Europe in general. That was also very inspiring and very important for us to understand how people work here, especially in Bali. The time that they have spent on something that is not their main activity because sometimes that is not their main job, they do another job as well. It’s also exchanged our understanding about the culture and the way people live was the main inspiration for us.
Menurut saya, semua tradisi dan pengetahuannya, orang-orangnya, dan transisinya dari generasi ke generasi. Sebenarnya, sebuah proses pengetahuan yang mindful (penuh kesadaran). Hal yang paling menginspirasi adalah percakapannya. Percakapan yang kami lakukan dengan orang-orang yang lebih dari sekadar objek atau benda (yang kami temui), tetapi lebih kepada pertukaran yang membawa kami pada inspirasi dan ide. Dan tentu saja, kami sangat tertarik dengan pembicaraan yang kami buat, alat yang digunakan (mereka untuk bekerja), dan waktu pembuatannya. Cara orang bekerja sangat berbeda dengan orang-orang di Prancis dan Eropa pada umumnya. Hal itu juga sangat menginspirasi dan sangat penting bagi kami untuk memahami bagaimana orang-orang bekerja di sini, terutama di Bali. Waktu yang mereka habiskan untuk sesuatu yang bukanlah kegiatan utama mereka karena terkadang itu bukan pekerjaan utama mereka, mereka melakukan pekerjaan lain juga. Hal ini juga menambah pemahaman kami tentang budaya dan cara hidup masyarakat yang menjadi inspirasi utama bagi kami.
Do you have any particular designer that you look up to for inspiration (Apa kah kalian punya desainer tertentu yang kalian jadikan inspirasi dalam berkarya)?
No. We don’t have any particular designer that inspired us. We like to convey stories based on existing facts but that doesn’t mean that we have one specific designer for that, but more to their way of living and their way of designing that is linked to things we design for. So, we designed for Mobilier National—for example—our goal was not to do the same thing as other designers did before, but more to understand what the Mobilier National needs as a design approach to understand what their needs actually are.
Tidak. Kami tidak memiliki desainer tertentu yang menginspirasi kami. Kami ingin menyampaikan cerita berdasarkan fakta yang ada, namun bukan berarti kami memiliki satu desainer tertentu untuk itu, tetapi lebih kepada cara hidup dan cara mereka mendesain yang terkait dengan hal-hal yang kami desain. Seperti saat kami mendesain untuk Mobilier National-misalnya-tujuan kami bukan untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan desainer lain sebelumnya, tetapi lebih kepada memahami apa yang dibutuhkan Mobilier National sebagai pendekatan desain untuk memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Where does your inspiration for design usually come from (Dari mana kah biasanya inspirasi kalian dalam mendesain itu datang)?
Our references in terms of design are coming sometimes from other countries. We have a strong influence on Italian design culture, and Italian interior design too, and it varies a lot. We use colors, colors are important to us. But it never pop-colors; it’s never pure red, pure green, or pure yellow. It’s always something that is vivid and it’s joyful, I would say. We try the color range that we find most sophisticated and that’s why we find inspiration in Italian design, which can also be mixed with natural materials such as stone or wood.
Referensi kami dalam hal desain terkadang datang dari negara lain. Kami mendapat pengaruh yang kuat dari budaya desain Italia, dan desain interior Italia juga, dan itu sangat bervariasi. Kami menggunakan warna, warna penting bagi kami. Namun tidak pernah menggunakan warna-warna yang mencolok (warna pop); tidak pernah merah murni, hijau murni, atau kuning murni. Selalu sesuatu yang hidup dan menyenangkan, menurut saya. Kami mencoba berbagai warna yang menurut kami paling elegan dan itulah mengapa kami menemukan inspirasi dalam desain Italia, yang juga bisa dipadu-padankan dengan bahan alami seperti batu atau kayu.
Do you have any difficulties when blending traditional and contemporary narratives in your designs (Apakah pernah mengalami kesulitan ketika memadukan narasi tradisi dengan kontemporer dalam desain kalian)?
Sometimes it’s not easy to detach ourselves from something that we find interesting in antique and old objects. The thread is to find a way to modernize it by the shapes, the concept, the colors as well, that we tried to be original. I don’t think we find so much difficulties.
Terkadang tidak mudah untuk melepaskan diri dari sesuatu yang kita anggap menarik pada benda-benda antik dan tua. Benang merahnya adalah menemukan cara untuk memodernisasikannya melalui bentuk, konsep, warna, dan juga mencoba untuk menjadi orisinal. Saya rasa kami tidak menemukan banyak kesulitan.
How would you describe your design philosophy (Bagaimana kalian mendeskripsikan filosofi desain kalian)?
We don’t find it too complicated. Our objective is to make something that finds its balance; something that is not too old and not too modern, something that can be timeless, and aesthetic, that we take its roots from the old and doesn’t come directly from Pinterest. So, this is what we are against. Just because it’s nice to make a nice shape, the shape needs to make sense as well. As long as you’re honest and as your design is honest to what it needs to be.
Kami tidak membuatnya terlalu rumit. Tujuan kami adalah untuk membuat sesuatu yang menemukan keseimbangannya; sesuatu yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu modern, sesuatu yang tak lekang oleh waktu (timeless), dan estetis, yang kami ambil akarnya dari yang sesuatu yang lama dan tidak berasal langsung dari Pinterest. Jadi, inilah yang kami tentang. Hanya karena membuat bentuk yang indah itu bagus, bentuknya harus masuk akal juga. Selama kalian jujur dan desain kalian jujur pada apa yang seharusnya.
Setelah seluruh agenda roadshow di Surabaya selesai, duo desainer Marcel Poulain Studio bersama tim ADIR dan CushCush Gallery langsung bersiap untuk pergi ke kota selanjutnya, yaitu Yogyakarta. Lalu, ketika roadshow di Jakarta sebagai kota terakhir selesai, duo desainer Marcel Poulain Studio kembali ke Paris, dan mengembangkan koleksi objek yang indah dalam beberapa bulan mendatang sebagai output dari program ADIR 2024 yang mereka ikuti.





Leave a comment