ART | EXHIBITION | SURABAYA | 2024
David Díaz, seorang fotografer muda dari komunitas adat Shipibo-Konibo, menerima penghargaan “Rainforest Journalism Foundation of the Pulitzer Center” pada tahun 2021 atas dampak yang signifikan yang ia berikan melalui karya fotografinya mengenai potret komunitas adat Shipibo-Konibo, Peru. Untuk memfasilitasi seniman-seniman muda berbakat dan sebagai medium pertukaran budaya, Kedutaan Besar Peru di Indonesia bersama dengan Orasis Art Space mempersembahkan pameran fotografi karya David Díaz tentang komunitas adat Shipibo-Konibo bertajuk “Portraits of My Blood”.
Pameran ini menampilkan koleksi foto hitam putih yang menangkap momen-momen intim dan ritual harian komunitas adat Shipibo-Konibo. Bagi David Díaz, fotografi adalah suatu cara untuk mendokumentasikan komunitas adatnya karena jika tidak didokumenasikan dan disebar, orang-orang tidak akan tahu apapun tentang mereka dan bagaimana keadaan mereka saat ini.


Ketika pertama kali memiliki kameranya sendiri sepuluh tahun lalu, hal pertama yang David Díaz eksplorasi adalah orang-orang di komunitas adatnya sendiri. Dia ingin menampilkan Shipibo-Konibo berdasarkan sudut pandang orang dalam, yaitu dia sendiri sebagai anggota Shipibo-Konibo. Dengan begitu, melalui fotografinya, ia bertujuan untuk menunjukkan visi yang intim dan tulus dari masyarakat adat, sehingga karyanya dapat mencatat sejarah masyarakat Shipibo-Konibo untuk generasi mendatang tanpa membangun narasi yang salah tentang komunitasnya.
Bagaikan jendela yang melihat ke dalam jantung budaya leluhurnya, karya David Díaz melampaui sekadar dokumentasi, menyajikan narasi sejarah dan identitas budaya dengan sensibilitas modern.
Siapa itu Shipibo-Konibo dan mengapa Shipibo-Konibo?
Shipibo-Conibo adalah komunitas adat—atau di Indonesia disebut suku—asli di sepanjang Sungai Ucayali di hutan hujan Amazon di Peru yang telah menetap di sana selama lebih dari seribu tahun. Sebelumnya, mereka adalah dua kelompok berbeda. Namun, mereka akhirnya menjadi satu suku melalui perkawinan campur dan ritual komunal.






Ada banyak hal menarik yang bisa kita ketahui mengenai suku Shipibo-Konibo melalui pameran ini dan akan dipaparkan setelah ini. Namun, dalam sesi wawancara bersama media, Bapak Luis Tsuboyama, Duta Besar dari Kedutaan Besar Peru di Indonesia menyampaikan alasan mengapa suku Shipibo-Konibo dipilih. Katanya, beliau yakin bahwa mayoritas orang Indonesia hanya tahu sedikit soal Peru. Misalnya, ketika mendengar Peru, mereka akan teringat Machu Picchu. Begitu pula dengan mayoritas orang Peru yang ketika mendengar Indonesia, hal yang pertama kali mereka ingat adalah Bali. Suku Shipibo-Konibo menurutnya memiliki kemiripan dengan beberapa suku lain di Indonesia, misalnya suku Dayak. Melalui pameran ini, diharapkan ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam budaya satu sama lain dapat saling terjalin.
Hal menarik mengenai Shipibo-Konibo dapat dijumpai dalam pameran ini. Suku dengan populasi sekitar 30.000-40.000 jiwa—tidak sampai 1% dari total populasi Peru—ini adalah sebuah komunitas matriarkal (matriarchal community), yaitu suatu komunitas di mana perempuan lebih mendominasi dalam hal pengambilan keputusan baik dalam kekuasaan, wewenang, bahkan dalam kesenian. Maka dari itu, ketua adat suku Shipibo-Konibo adalah perempuan. Dalam pameran ini, terdapat banyak foto yang menampilkan wanita-wanita dari suku Shipibo-Konibo dan bahkan hanya melalui foto saja, kita bisa merasakan betapa tangguhnya wanita-wanita di dalam foto tersebut.

Perempuan Shipibo-Konibo membuat berbagai macam kerajinan seni seperti manik-manik, tekstil, dan tembikar. Benda kerajinan tersebut mereka hiasi dengan pola geometris merah dan hitam yang menyerupai labirin. Foto yang mengabadikan citra perempuan Shipibo-Konibo yang sedang membuat kriya teksil terdapat di pameran ini. Selain motifnya yang khas, kriya teksil suku Shipibo-Konibo menjadi inspirasi dipilihnya warna merah muda (pink) menjadi warna tema pameran ini.
Hal menarik lainnya menurut kami adalah sebuah potret yang mengabadikan suasana upacara Corte De Cerquillo, yaitu ketika suami seorang perempuan Shipibo-Konibo meninggal, ia akan memotong rambutnya sebagai bentuk ungkapan berkabung. Fenomena memotong rambut ketika seseorang merasa sedih atau berduka bukanlah hal yang liyan di masyarakat urban. Akan tetapi, masyarakat urban akan melalui hal tersebut sendirian sebagai individu. Dengan adanya upacara ini, kami merasa upacara tersebut adalah bentuk belas kasih (compassion) dari masyarakat adat kepada individu yang sedang berduka.

Kisah di balik potret seorang lelaki dengan tindikan di atas bibir dan dagunya tidak kalah menarik. Kesan orang awam ketika melihat tindikan tersebut biasanya akan mengira bahwa hal tersebut adalah salah satu budaya asli Shipibo-Konibo dan harus dijaga. Padahal sebenarnya, budaya menindik bagian atas mulut mereka dengan uang koin terjadi baru beberapa tahun ke belakang dan merupakan suatu bentuk protes dari masyarakat Shipibo-Konibo atas intervensi yang terjadi kepada mereka berupa masuknya uang sebagai alat tukar modern.

Masih ada banyak hal menarik mengenai suku Shipibo-Konibo yang bisa didapatkan dari pameran “Portraits of My Blood.” Silakan mengunjungi pameran ini secara langsung untuk mendapatkan guided tour.
Mengapa foto-fotonya hitam-putih dan tidak berwarna?
Sebanyak 25 foto dipamerkan dalam pameran ini dan semuanya adalah foto hitam-putih. Dalam wawancara kami bersama Bapak Luis sebagai Duta Besar Peru di Indonesia, beliau berkata bahwa foto potret yang disampaikan menggunakan gaya hitam-putih ini murni pilihan sang seniman. Namun, menurutnya, secara umum karya fotografi hitam-putih memiliki keintiman yang lebih mendalam antara subjek foto dengan orang yang melihat karya fotografi tersebut dibandingkan dengan foto berwarna.
Opening Ceremony
Pameran dibuka pada sore hari di hari Jumat, 23 Agustu 2024. Sebelum agenda utama dimulai, Orasis Art Space memberikan kesempatan bagi media yang diundang untuk mewawancarai Bapak Luis Tsuboyama, Duta Besar dari Kedutaan Besar Peru di Indonesia, seputar pameran ini. Usai diwawancara, Bapak Luis Tsuboyama memberikan sambutan bersama Ibu Liza Orasis saat upacara pembukaan berlangsung.
Para tamu undangan yang datang mendapatkan guided tour pameran dan hidangan yang disediakan di area cafe.
Kunjungan Pameran
Pameran ini berlangsung di Orasis Art Space selama sepuluh hari mulai dari Jumat, 23 Agustus sampai Minggu, 1 September 2024. Pemesanan tiket dan reservasi kunjungan melalui www.orasis.art.

Leave a comment