Kata Mata – Merayakan Kisah di Sekitar Kita, Sebuah Pameran Fotografi oleh Gulung Tukar

ART | EXHIBITION | TULUNGAGUNG | 2024 

Gulung Tukar, komunitas seni budaya multidisiplin yang berbasis di Tulungagung, Jawa Timur, menyelenggarakan pembukaan pameran fotografi bertajuk Kata Mata: Merayakan Kisah di Sekitar Kita pada tanggal 5 Mei 2024 . Pameran ini menampilkan karya 13 fotografer yang mengeksplorasi berbagai tema dan isu yang ada di sekitar. Acara tersebut dihadiri oleh pecinta seni, budayawan, dan masyarakat umum. Suasana pembukaan pameran semakin semarak dengan alunan musik pop-jazz yang dibawakan oleh Komunitas Jazz Tulungagung.  

Benny Widyo, selaku kurator pameran, mengungkapkan rasa senangnya atas antusiasme masyarakat yang hadir. “Kami sangat senang melihat banyak pengunjung yang hadir pada pembukaan pameran ini. Ini menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap seni semakin meningkat,” ujarnya. Lebih dari sekadar memamerkan foto, “Kata Mata” mengajak pengunjung untuk memperlambat langkah, melihat lebih dalam, dan menemukan kisah-kisah tersembunyi di antara rutinitas dan hiruk-pikuk keseharian, bagaimana jika kita melihat sudut pandang fotografi yang membuat kita berpikir, “Wah, keren juga, ya!”

Karya-karya dalam pameran ini merupakan hasil dari program Gutuskul: Kata Mata Kita, sebuah lokakarya yang dirancang untuk mengajak peserta memahami konsep jurnalisme sastrawi dan fotografi cerita dengan pemateri Adhi Kusumo (fotografer dan pendidik fotografi sejak tahun 2008) dan Titah AW (jurnalis independen untuk berbagai media, termasuk VICE Indonesia, Jakarta Post, dan Project Multatuli). Dalam lokakarya ini, para peserta tidak hanya belajar tentang teknik penulisan dan fotografi, tetapi yang lebih penting, mereka belajar bagaimana mencari dan menemukan cerita yang sering terabaikan.  

Para peserta lokakarya ini antara lain Catur Tutud, Dimas Gilang, Farhan Nawawi, Gelar Prakosa, Laila Muhibbah, Nanda Rahmawati, Ongky Prasetyo, Raihan Wahyu, Rivo Abdulhaq, Salsabilla Cindy, Suhada, Sulthon Amanulloh, dan Zidni Khittam. Dalam program ini, para peserta diberi kesempatan untuk merancang proyek fotografi berdasarkan isu atau topik yang mereka anggap penting. Mereka menghabiskan waktu sekitar tiga bulan untuk bertemu informan, melakukan wawancara, mengamati, dan memotret. Proyek-proyek yang dihasilkan adalah cerminan dari ketertarikan pribadi peserta terhadap isu-isu di sekitar mereka; dari masalah sosial hingga isu lingkungan, dari cerita pribadi hingga pengalaman kolektif.   

Karya-karya dalam pameran ini menunjukkan berbagai tema yang mencerminkan realitas masyarakat. Misalnya ada beberapa karya yang membahas tentang sampah atau berangkat dari keresahan mereka mengenai sampah dan lingkungan hidup. 

Karya dari Sulthon Amanulloh melihat lebih dekat TPA Segawe di Tulungagung dan segala perdebatan intens mengenai solusi sampah di dalamnya. Ia mengunjungi TPA Segawe, melakukan wawancara petugas, dan melihat trafik peningkatan jumlah sampah yang masuk dan ditampung oleh TPA ini. Dari foto-foto yang diambilnya, para pengunjung diajak untuk merenungkan kembali mengenai masalah pengelolaan sampah dan memikirkan cara bagaimana untuk mengurangi produksi sampah yang tidak dapat didaur ulang oleh bumi secara organik.

Permasalahan mengenai sampah diangkat juga oleh Zidni Khittam. Namun, jenis sampah yang ia fokuskan dan metode presentasi karya yang ditampilkan berbeda dengan karya peserta lain. Ia berfokus pada sampah kain dan membuat karya menggunakan metode upcycle. Ia mengolah sampah potongan kain jeans menjadi sebuah bentuk pakaian baru yang ia bentuk polanya menggunakan majalah fashion bekas. Sebuah ironi yang menarik. Pakaian yang ia buat dan proses pembuatannya ia tampilkan dalam bentuk video di pameran ini.

Peserta lainnya yang menyoroti masalah sampah adalah Gelar Prakosa. Di pameran ini, Gelar membuat pot tanaman dari botol bekas Coca Cola. Ia isi pot tersebut dengan tanaman dan ia foto. Foto itu kemudian dibentuk bingkainya menjadi lingkaran, diproyeksikan ke lantai ruang pameran, dan dikelilingi oleh tanaman-tanaman. Seolah menjadi antitesis dari apa yang disampaikan dan dilakukan oleh Zidni Khittam sebelumnya, melalui karya yang ia buat, ia ingin bersuara bahwa proses upcycling sampah hanya lah sebuah upaya ilusif semata; bahwa sebanyak apapun sampah yang kita olah dengan metode recycle maupun upcycle, permasalahan sampah tidak akan pernah selesai jika perusahan-perusahaan besar penyumbang sampah ini tidak berhenti memproduksi kemasan yang nantinya akan menjadi sampah yang sulit terurai.

Meskipun bukan benar-benar sampah, perhiasan emas yang rusak atau telah hilang surat-surat kepemilikannya cenderung turun nilainya. Namun, perhiasan emas yang rusak tersebut bisa dimanfaatkan kembali dengan cara dilebur dan dibuat menjadi emas batangan baru dengan teknik semi-tradisional. Perbedaan antara peleburan dengan teknik modern dan teknik semi-tradisional hanya terletak pada kuantitas gram emas yang dihasilkan saja sedangkan prosesnya sama. Proses peleburan emas dengan teknik semi-tradisional ini menjadi objek yang diangkat oleh Catur Tutud dan Onky Prasetyo dalam karya fotografi mereka yang diberi judul “1.064° C”. Pelebur emas yang mereka datangi adalah seorang wanita yang meneruskan usaha peleburan yang dilakukan keluarga mereka sejak tahun 1990-an di Tulungagung.

Kemudian, ada beberapa karya yang menyoroti kehidupan manusia dalam ranah keluarga dan sosial. Seperti Farhan Nawawi, ia menyuguhkan karya fotografi yang mengajak pengunjung untuk melihat lebih dalam mengenai kisah lain dari pondok pesantren. Pondok pesantren yang ia kunjungi, saat itu sedang melakukan renovasi. Farhan mengabadikan kegiatan renovasi yang dilakukan oleh para santri pondok sendiri itu dengan menarik, membuat kita merenungkan kembali esensi dari kegiatan mondok yang tidak hanya tentang belajar, akan tetapi tentang belajar melayani dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Lalu ada kisah pilu korban perkawinan anak yang disampaikan melalui karya fotografi oleh Laila Muhibbah. Ia mewawancarai narasumber yang telah menikah sejak berusia 14 tahun. Kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, himpitan dari berbagai pihak, peran ganda yang harus ia emban, dan kehilangan pegangan hidup,  yaitu kedua orang tuanya, membuat kita merenungkan kembali tentang permasalahan perkawinan anak yang ada di sekitar kita. Bahwa masalah ini bukan lah masalah individu belaka, melainkan masalah yang lebih kompleks.

Isu tentang ketergantungan anak pada gawai disorot oleh Nanda Rahmawati dalam karya fotografinya. Foto-foto yang ditampilkan adalah foto A, seorang anak berusia 5 tahun yang menjadi subjek studi kasus dan kedua orangtuanya sebagai narasumber. Dalam observasi ini, Nanda menemukan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra dari penggunaan gawai sejak dini kepada anak-anak, dan apa yang sebaiknya orang tua lakukan jika mereka mengenalkan gawai sejak dini tanpa ada nuansa menghakimi.

Foto karya Nanda Rahmawati.

Kurangnya transportasi massal untuk publik dan keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan bagi orang tua mereka untuk mengantar-jemput mereka setiap hari karena harus bekerja menjadi kombinasi alasan para siswa SMP di sebuah desa terpencil di ujung selatan Pulau Jawa untuk berangkat sekolah menggunakan sepeda motor secara mandiri. Fenomena ini disorot oleh Rivo Abdulhaq dalam karya fotografinya. Rivo tampak seperti menyimpan kameranya di satu titik di sisi jalan yang dilewati para siswa SMP ini dan memotret setiap siswa yang lewat. Dari foto-foto itu, terlihat ada cukup siswa yang tidak menggunakan helm. Di satu sisi, para siswa ingin menjadi mandiri dan tetap melanjutkan rutinitas pergi ke sekolah. Di sisi lain, faktor kepedulian tentang pendidikan mengenai keselamatan berkendara kemungkinan masih kurang.

Foto karya Rivo Abdulhaq.

Aksi perlawanan warga Desa Pakel dengan PT Bumi Sari atas konflik agraria yang terjadi di Desa Pakel sudah berlangsung selama dua tahun. Untuk merayakan dua tahun keberlangsungan perlawanan itu, warga Pakel mengadakan acara potong tumpeng dan doa bersama. Makanan yang disajikan berasal dari panen warga, menciptakan suasana yang hangat dan penuh kebersamaan. Raihan Wahyu yang tinggal di Tulungagung, mengabadikan perjalanan ia dan beberapa temannya ke Desa Pakel untuk turut serta merayakan perayaan tersebut dalam foto-foto yang ia pamerkan di pameran ini. Lewat foto-foto tersebut, diharapkan semangat para warga Desa Pakel dalam mempertahankan hak mereka dapat dirasakan oleh para pengunjung pameran yang datang.

Peserta lain, Suhada, menyoroti fenomena alih fungsi ruang publik yang terjadi di Kediri. Dibukanya Bandara Dhoho Kediri lengkap dengan segala kecanggihan teknologi yang dibawanya memberikan rasa asing bagi masyarakat sekitar bandara yang mayoritas bekerja di bidang pertanian. 

Yang terakhir ada karya fotografi dari Salsabilla Cindy yang menyoroti fenomena keseimbangan hidup antara manusia dan alam di Alun-alun Kota Blitar. Salsabilla memperhatikan bagaimana dinamika kehidupan masyarakat Blitar yang beraktivitas di sana dengan Burung Kuntul atau biasa disebut Burung Blekok yang banyak ditemukan di sana dan hampir punah. Suka-duka hidup berdampingan dengan makhluk hidup lain diresapi oleh Salsabilla melalui karyanya ini.

Selain pameran yang berlokasi di Gutu Haus, rangkaian acara yang berlangsung selama 22 hari ini dilengkapi dengan berbagai agenda lain seperti acara pembukaan yang disebutkan di awal, Artist Talk, dan Diskusi yang berlangsung sebanyak empat kali dengan seniman yang dikelompokkan ke dalam tema-tema yang berdekatan. 

Artist Talk dan Diskusi pertama dilangsungkan pada tanggal 17 Mei dengan tema “Yang Tersisa, Yang Dikelola” dengan pembicara para seniman yang menjadi eksibitor pameran, yaitu Catur Tutud, Onky Prasetyo, Sulthon Amanulloh, dan Zidni Khittam. Artist Talk dan Diskusi kedua dilangsungkan pada tanggal 19 Mei dengan tema “Percepatan Zaman Sekarang” dengan pembicara Laila Muhibbah, Nanda Rahmawati, dan Rivo Abdulhaq. Artist Talk dan Diskusi ketiga dilangsungkan pada tanggal 24 Mei dengan tema “Melintas Batas, Merentas Waktu” dengan pembicara Farhan Nawawi, Raihan Wahyu, dan Suhada. Artist Talk dan Diskusi terakhir sekaligus penutup rangkaian pameran “Kata Mata: Merayakan Kisah di Sekitar Kita” dilangsungkan pada tanggal 26 Mei dengan tema “Terabaikan, Mengimbangi” dengan pembicara Dimas Gilang, Gelar Prakosa, dan Salsabilla Cindy. Semua Artist Talk dan Diskusi dimoderatori oleh Benny Widyo selaku kurator pameran.