Tumbukan, Tumpukan: Isu Duka Ekologis yang Diangkat oleh Teater Garasi Melalui Pertunjukan Silang-Media “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar”

ART | PERFORMANCE | YOGYAKARTA | INDONESIA | 2023  

Foto oleh Muhammad Wildan Naufal.

Teater Garasi/Garasi Performance Institute, sebuah kolektif seniman lintas disiplin yang berbasis di Yogyakarta menggelar pertunjukan silang-media (teater, video game, dan sinematografi) tentang duka ekologis (ecological grief) berjudul “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” pada tanggal  2 & 3 Juli 2023. Pertunjukan ini digelar di JNM Bloc sebagai salah satu dari empat main performance Artjog tahun ini.  Pertunjukan kali ini merupakan pengembangan dari “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” versi sebelumnya yang ditampilkan di Indonesia Bertutur tahun 2022. Selain di Yogyakarta, pertunjukan ini juga akan digelar di Jakarta untuk pertama kalinya pada tanggal 17 & 18 Agustus 2023 mendatang dan bertempat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Informasi mengenai pemesanan tiket pertunjukan di Jakarta bisa dilihat di akun media sosial Teater Garasi. 

Masih disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin, Ugoran Prasad sebagai dramaturg, serta masih berdasarkan teks yang ditulis oleh Andri Nur Latif, Gunawan Maryanto (alm.), dan Ugoran Prasad, pertunjukan kali ini berkolaborasi dengan seniman-seniman lintas disiplin seperti Majelis Lidah Berduri, Deden Bulqini, Tomy Herseta, Rimbawan Gerilya, Y-Dra, A. Semali, Mella Jaarsma, Retno Ratih Damayanti, dan para performer lintas generasi. 

Berjarak 21 tahun dari Waktu Batu seri pertama “Waktu Batu. Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu” (“Timestone. The Encountered Stories in Waiting Room”), “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” menjadi nostalgia bagi para seniman senior yang terlibat saat itu dan menjadi tantangan bagi para seniman muda yang terlibat pada proyek Waktu Batu terbaru ini. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana proses penciptaan, tema dan konsep yang diusung, serta bagaimana isu yang ingin disampaikan kepada penonton bisa tercipta, kami berkesempatan berbincang dengan Luna Kharisma (asisten sutradara) dan Syamsul Arifin (salah satu performer muda). 

Tentang Teater Garasi dan Waktu Batu 

Teater Garasi/Garasi Performance Institute didirikan di Yogyakarta pada tanggal 4 Desember 1993. Kelompok yang didirikan oleh Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji, dan Puthut Yulianto ini pada awalnya merupakan suatu lembaga mahasiswa di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gajah Mada.  

Sebagai platform pertemuan dan pertukaran pengetahuan yang terbuka, Teater Garasi berdiri di atas kepercayaan dan praktik yang melihat seni pertunjukan sebagai suatu cara untuk mengolah dan memproduksi pengetahuan serta untuk melibatkan diri secara dialektis dengan lingkungan sosial politik. Visi dan praktik yang dilakukan oleh Teater Garasi ini membawa para seniman dan karya-karyanya ke pergaulan dan forum seni internasional. Di tahun 2013, Teater Garasi menjadi salah satu penerima anugerah Prince Claus dari Yayasan Keluarga Kerajaan Belanda (Prince Claus Fund). 

Di bagian Pengantar Sutradara dalam “Buku Program Waktu Batu. Rumah yang Terbakar”, Yudi Ahmad Tajudin menulis mengenai mengapa ia dan teman-teman seniman Teater Garasi menciptakan karya Waktu Batu pada awalnya. Ide awal pertunjukan ini bermula dari kegelisahan-kegelisahan yang dirasakannya selama beberapa tahun (sekitar tahun 1998-2001).  

“Persisnya tiga-empat tahun ini; saya selalu merasa ada yang tengah berubah di sekitar saya. Ada transisi yang samar arah-tujuannya.” 

“Di bulan-bulan awal tahun 2001, saat-saat awal saya berada dalam pusaran kegelisahan dan mulai melangkahkan kaki saya masuk ke dalam ruang itu, ruang yang kemudian kami sebut Waktu Batu, saya bertemu dengan konsep sukerta dan ruwat dalam kosmologi Jawa. …Dan setelah menggumulinya berbulan-bulan, pikiran dan kegelisahan-kegelisahan itu lalu mengkristal ke dalam tiga pertanyaan besar di kepala saya: waktu, transisi (beserta kegentingan yang menyertainya), dan identitas (nama-nama yang tertera di seluruh diriku, dari manakah mereka? Atas alasan dan kehendak macam apakah ia dilekatkan pada setiap sudut yang mengarah padaku? Dan kenapa aku mesti berada di sana, di dalam dan di antara nama-nama itu?).” 

Dari kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan itu, Yudi Ahmad Tajudin berserta teman-teman Teater Garasi lainnya melakukan proses panjang sehingga pada tanggal 2-4 Juli 2002, pertunjukan Waktu Batu pertama, “Waktu Batu. Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu (Timestone. The Encountered Stories in Waiting Room)” dipentaskan di Sasono Hinggil Dwi Abad, Yogyakarta. Kemudian pada tahun 2003, Waktu Batu kedua “Waktu Batu. Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah (Timestone. Rites of Hundred Angsts and Whose Disjointed Face)” dipentaskan. Dan seri ketiga Waktu Batu, “Waktu Batu. Deus Ex Machina dan Perasaan-perasaanku Padamu (Timestone. Deux Ex Machina and My Feelings for You)” dipentaskan pada tahun 2004. 

Waktu Batu. Rumah yang Terbakar 

Duka ekologis menjadi kosmos karya pertunjukan silang-media ini dan generasi muda menjadi target audiensnya. Bagaimana duka ekologis bisa muncul ke permukaan—menjadi kosmos karya ini—dan bagaimana proses penciptaan pertunjukan “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” ini, Luna Kharisma dan Syamsul Arifin berbagi kepada kami. 

Perbedaan jarak 21 tahun antara Waktu Batu terakhir “Waktu Batu. Deus Ex Machina dan Perasaan-perasaanku Padamu” dengan “Waktu Batu. Rumah yang Terbakar” menjadi tantangan tersendiri bagi para performer muda. Hal ini dikarenakan ketika ketiga seri Waktu Batu sebelumnya dipentaskan, sebagian besar performer muda masih anak-anak SD. Syamsul Arifin bercerita mengenai tantangan ini. “Memang tidak mudah, ya. Kami—aku dan teman-teman performer muda yang lain, yang terlibat produksi karya ini perlu diakui butuh waktu—paling tidak buatku—membutuhkan satu tahun untuk benar-benar memahami ketiga seri Waktu Batu terdahulu dan yang terkini ini.  Di Indonesia Bertutur, kami tidak punya kesempatan untuk memahami secara detail, karena keterbatasan waktu di proses tahun kemarin. Berbeda dengan persiapan Waktu Batu yang dipentaskan di Artjog ini, tentu saja karena kami sudah punya bekal dari hasil proses yang sebelumnya. Di proses kali ini, kami mencoba meniti lagi bagian-bagian teksnya, dipertanyakan, dan kami percakapkan. Maka bisa dibilang pertunjukan ‘Waktu Batu. Rumah yang Terbakar’ kali ini lebih clear.”

Sebagai seseorang yang memang menyukai karya-karya Teater Garasi khususnya Waktu Batu, perasaan tegang menjadi salah satu tantangan bagi Luna Kharisma di awal karena akan bekerja bersama para senior yang telah menciptakan karya legendaris bagi dirinya. Akan tetapi, Luna mengungkapkan bahwa dalam prosesnya, ruang perbincangan terbuka lebar antara dua generasi Teater Garasi.  

“Generasi yang lebih muda merasa senang karena bisa berdialog dengan generasi yang lebih tua. Begitu juga sebaliknya. Karena dialog antar generasi selalu terbuka, secara otomatis ketegangan-ketegangan yang dirasakan generasi yang lebih muda perlahan lumer dengan sendirinya, berganti dengan pertukaran pengetahuan—apa yang kami belum tahu sedangkan mereka sudah tahu, begitu pula sebaliknya,” ungkap Luna Kharisma. 

Di Teater Garasi, terdapat satu metode penciptaan yang sudah digunakan selama bertahun-tahun yang mereka sebut sebagai Penciptaan Bersama. Metode ini memiliki tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah locating the question atau menciptakan pertanyaan-pertanyaan. Di tahap ini, teman-teman Teater Garasi berfokus pada kegiatan mengobrol dan saling bertukar pikiran untuk mengkaji ulang konteks Waktu Batu dengan keadaan dunia saat ini.  

“Pertama-tama, Mas Yudi memberikan tiga pengantar teks dari setiap seri Waktu Batu. Kemudian, teks-teks tersebut ditafsir, dimaknai, diinterpretasi, dilihat konteksnya saat ini,” jelas Syamsul Arifin ketika kami tanya mengenai proses awal penciptaan pertunjukan ini. 

“Mas Yudi dan Mas Ugo membicarakan Waktu Batu versi sebelumnya dan mereka bercerita secara terbuka bagaimana proses itu ditempuh; di sana itu ada apa saja? Teksnya itu seperti apa? Kemudian kami para seniman muda mencoba memberi respon,” jawab Luna Kharisma untuk pertanyaan yang sama.  

Ketika pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan-kegelisahan itu bergeser, perspektif mengenai karya Waktu Batu yang terbaru ini juga ikut bergeser. “Apa yang genting saat ini? Apa yang bisa menjembatani kami—seniman muda—dengan para senior yang sudah bergulir ini? Apa yang bisa kita bicarakan, yang memiliki koneksi dengan kehidupan anak muda saat ini?” lanjut Luna Kharisma. 

Dalam proses locating the question ini, Luna Kharisma merasa salah satu tantangan baginya dan teman-teman seniman muda lainnya—selain rentang waktu 21 tahun dari karya Waktu Batu terakhir—adalah bagaimana mereka bisa terus memperbarui perspektif. Terutama baginya sebagai asisten sutradara. “Aku mempertanyakan apa yang kurang dari yang sudah ada? Kemudian bagaimana cerapanku? Ideku apa? Dan Waktu Batu ini aku baca seperti apa? Karena cara baca itu sangat mempengaruhi bagaimana kita melihat ketika kita berlatih. Pada akhirnya, kita saling membenahi, saling memberi tahu, saling berkoneksi, dan terus berdialog.” 

Dari proses panjang diskusi itu, terciptalah tema utama yang mencakup tiga hal, yaitu waktu, transisi, dan tumbukan-tumpukan. Tumbukan-tumpukan muncul karena beberapa alasan. Saat ini, tumbukan budaya dan tumpukan sampah menjadi hal yang gegar. Masyarakat saat ini berhadapan dengan tabrakan-tabrakan visual, gagasan, pengetahuan yang bergerak begitu cepat, soal-soal identitas di era informasi yang sangat cepat seperti saat ini, tumpukan sampah akibat konsumerisme, dan masalah kapitalisme yang saling berkaitan. 

Syamsul Arifin—performer dari Sampang yang juga seorang nelayan—lah yang pertama kali mengangkat isu tentang sampah yang menumpuk. “Aku hidupnya di laut. Aku melihat situasi bagaimana sampah bertumpuk di laut dan ini adalah duka kita bersama,” ujar Syamsul Arifin.  Kemudian, dari isu sampah ini, Putu Alit—salah satu performer muda—membawa tesis temannya, Ali, tentang duka ekologis yang berkaitan dengan tema yang dibicarakan. 

Dari semua pertunjukan Waktu Batu, adegan ketika Watu Gunung muda meminta makan kepada ibunya yang sedang memasak di dapur menjadi adegan yang paling menarik perhatian kami. Karena, di adegan tersebut, terjadi dialog di antara dua karakter perempuan—jika mengingat mitologi Watu Gunung, perempuan tersebut adalah ibu atau istri Watu Gunung—yang dari waktu ke waktu semakin menarik dialognya. Dari semua seri pertunjukan Waktu Batu, semesta domestik terasa begitu kental; dapur, ruang tamu—yang pada akhirnya dijadikan judul Waktu Batu pertama. Hal ini erat hubungannya dengan duka ekologis, seperti yang ditulis oleh Luna Kharisma dalam Pengantar Waktu Batu Rumah yang Terbakar. 

“Perempuanlah yang paling segera merasakan duka ekologis ini; para perempuan yang memastikan bahwa alam perlu dirawat dengan cinta, para perempuan yang memastikan bahwa anak-anak mereka dapat tumbuh tanpa terancam marabahaya, para perempuan yang memastikan bahwa makanan di dapur harus selalu ada dan cukup, para perempuan yang memastikan bahwa tidak ada perut yang lapar agar terus bisa bersuara melawan ketidakadilan, dan para perempuan yang memastikan solidaritas kuat agar duka ekologis ini dapat dilewati bersama-sama.” 

Isu yang ingin disampaikan dari karya pertunjukan ini sudah terangkum. Selanjutnya adalah mencari pendekatan seperti apa yang akan digunakan dalam mendialogkan isu tersebut kepada target audiens, yaitu generasi muda. Mereka mencermati apa yang dilakukan generasi muda saat ini seperti bermain TikTok dan game. Wijil Rachmadhani—salah satu performer muda—memberi usul kepada teman-teman seniman muda lainnya untuk mencoba game GTA. Dari game itu, mereka menemukan bahwa NPC (Non Playable Character) memiliki konsep yang sama dengan karakter-karakter mitologi yang dijadikan dasar teks Waktu Batu, yaitu konsep “avatar”. 

Tahap terakhir dari proses penciptaan bersama ini adalah membaca ulang, merombak ulang susunan Waktu Batu bersama dengan sutradara hingga tercipta komposisi akhir mulai dari act 1, act 2, act 3, babak-babak ditata sedemikian rupa sampai selesai. Jadi itulah kerangka penciptaan bersama yang dilakukan teman-teman Teater Garasi berdasarkan penjelasan Luna Kharisma dan Syamsul Arifin.  

Teman-teman Teater Garasi/Garasi Performance Institute berharap kehadiran karya ini bisa menjadi suatu penyadaran tentang masalah ekologi yang sedang dihadapi bersama saat ini. Dan penyadaran ini bukan hanya ditujukan kepada para penonton yang menonton tapi menjadi satu bentuk refleksi bersama antara yang pentas dan yang menonton. Sebagaimana karya ini banyak mengulik tentang tradisi ruwatan di Jawa, maka karya ini juga diproyeksikan sebagai ruwatan bersama dari gejala disorientasi atas berbagai problem realitas, dan mengembalikan orientasi bersama.

Foto-foto di artikel ini diabadikan oleh Muhammad Wildan Naufal.

Leave a comment