FASHION | JAKARTA | INDONESIA | 2023


Kesan feminin dengan sentuhan siluet khas beberapa gaya desain seperti pada masa Rokoko dan Renaisans membuat STARRY, sebuah fashion brand yang berbasis di Jakarta, memberikan angin segar bagi ekosistem industri fashion design di Indonesia. Beberapa hari lalu kami berkesempatan berbincang dengan Juliana Ng, pendiri sekaligus desainer STARRY.


Awal Mula STARRY
Sesuai mengeyam pendidikan fashion design di Singapura, di tahun 2016 Juliana Ng bersama teman satu kelasnya di universitas menggagas sebuah fashion brand bernama Lickstudio. Keputusannya untuk mendirikan sebuah fashion brand sendiri dibanding bekerja kepada orang lain di awal kelulusannya didorong oleh dua alasan. Alasan pertama, sebagai lulusan baru (fresh graduate), kecenderungan dan kemampuan untuk berpikir kreatif (creative juice) Juliana dan rekannya sedang tinggi-tingginya. Mereka ingin memanfaatkan semangat khas lulusan baru untuk memulai bisnis mereka sendiri. Alasan kedua, salah satu orang tua Juliana adalah seorang pebisnis dan menyarankan Juliana untuk mulai berbisnis.
“Cukup deg-degan karena saat itu aku masih belum begitu tahu secara mendalam bagaimana pasar industri fashion design di Indonesia,” ujar Juliana mengenai keputusannya mendirikan Lickstudio saat itu.
Di tahun 2017, Juliana dan rekannya di Lickstudio mulai menyadari bahwa pasar untuk Lickstudio ini bukan di Indonesia. Dari sini, keduanya memiliki perbedaan sudut pandang akan kehidupan masing-masing sehingga rekannya memilih untuk kembali ke kota kelahirannya dan undur diri dari Lickstudio.
“Aku sempat bimbang mau melanjutkan Lickstudio atau enggak. Soalnya kalau aku mau lanjut, akan menjadi perjuangan yang cukup besar kalau di Indonesia. Sedangkan kalau mau pindah untuk buka Lickstudio luar negeri harus punya kapital yang cukup besar. Saat itu, orang tuaku kurang setuju kalau aku berhenti berbisnis dan memilih untuk bekerja pada orang lain. Mereka mendukung penuh aku untuk punya brand aku sendiri, to have my own thing.”
Maka dari itu, pada tahun 2018, Juliana memulai kembali untuk membuat fashion brand miliknya sendiri yang ia beri nama STARRY.
Readesign Magazine: Adakah kejadian lain yang membuat Kak Juliana saat itu berinisiatif untuk mendirikan STARRY selain dari cerita yang Kak Juliana sebutkan sebelumnya?
Juliana Ng: Sebenernya ada, design wise lain mengapa aku mendirikan STARRY. Aku juga baru sadar di tahun 2018 itu di Indonesia belum punya banyak brand lokal—terutama brand pakaian wanita—yang ukuran produk-produknya bisa pas di ukuran badanku yang termasuk lebih besar dari standar. Jadi, waktu mendirikan dan menjalankan STARRY, design view-nya itu lebih ke aku sendiri. Kalau sebelumnya di Lickstudio aku mengawali proses desain dari pertanyaan seperti, “Apa yang sedang banyak digandrungi orang-orang saat ini? Apa sih yang disukai pasar saat ini?” di STARRY, pola pikirku berbeda. Pola pikirku berubah menjadi, “Oh desain seperti ini yang akan kupakai.” Dengan begitu, desain-desain STARRY dimulai dari kriteria something I would like to wear, and it can fit me nicely (sesuatu yang akan aku pakai dan pas di badanku). Dan menurutku, memilih untuk membuat fashion brand sendiri merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil karena pada saat itu belum banyak kutemukan baju-baju yang cocok dengan ukuran badanku.
Sebenarnya ada beberapa brand yang ukurannya cocok di badanku tapi kebanyakan dari mereka itu adalah fast fashion brand skala internasional sepert Zara, H&M, serta Pull and Bear. Ditambah lagi, meskipun di beberapa brand yang aku sebutkan itu ada yang ukurannya cocok denganku, secara desain mereka kurang cocok untuk seleraku. Katakanlah gaya desain produk-produk H&M lebih condong untuk basic wear, Pull and Bear lebih condong ke gaya street fashion, dan untuk Zara beberapa desainnya punya kesan yang dewasa (mature).
Apa arti atau filosofi di balik nama STARRY?
Untuk nama brand muncul seperti itu karena aku suka banget lukisannya Starry Night karya Van Gogh. It somehow brings me happiness by looking at the painting. Jadi aku ingin produk-produk yang aku hasilkan bisa membawa kebahagiaan untuk semua orang yang memakainya.
Bagaimana Kak Juliana menggambarkan gaya desain yang STARRY gunakan saat ini? Adakah periode khusus dalam sejarah fashion atau gaya khusus yang memberi pengaruh besar untuk Kak Juliana ketika mendesain produk-produk STARRY?
Tidak ada periode khusus sebenarnya. Di tahun 2018 itu aku memang sedang tertarik dengan sejarah. Aku mempelajari ulang history of costume (sejarah pakaian) dan merasa tertarik sekali dengan bagaimana mereka berpakaian, bagaimana mereka merepresentasikan diri mereka sendiri.
Di beberapa periode sejarah yang aku pelajari seperti pada masa Renaisans dan Rokoko, pakaian itu merepresentasikan status mereka. Di periode-periode itu juga aku menemukan banyak para pekerja yang memakai pakaian dengan detail yang mengesankan padahal saat itu mesin jahit belum ada—mereka masih menjahit manual dengan jarum sebagai satu-satunya alat.
Jadi, tidak ada periode khusus yang aku ikuti. Apa yang aku suka dari ciri khas fashion design di suatu masa atau periode, aku coba modifikasi dan aku coba terapkan ke desain-desain STARRY.
Adakah kriteria khusus bagi Kak Juliana ketika memilih material kain untuk produk-produk STARRY?
Kriteria utama dari material yang aku pilih untuk produk-produk STARRY tentu saja material yang unik, memiliki daya tahan yang tinggi, dan nyaman dipakai. Untuk material, aku menjadi lebih pemilih karena ada beberapa material yang secara desain unik, warnanya bagus, tapi komposisi campuran bahan kainnya terlalu banyak campuran poliester dibandingkan dengan campuran bahan alami. Jenis kain seperti ini biasanya tidak menyerap keringat dan jika dijahit dengan tidak benar-benar teliti, kain ini bisa menjadi keriting. Ada pun beberapa jenis kain yang secara desain bagus dan unik, cocok dengan seleraku, tapi secara daya tahan kurang, terkadang masih bisa aku atasi dengan cara melapisinya menggunakan kain katun agar lebih nyaman digunakan.
Apakah Kak Juliana mempertimbangkan faktor keberlanjutan (sustainability) ketika memilih material produk STARRY?
Tentu. Biasanya aku tes juga soal daya tahan (durability) kainnya misalnya aku tarik-tarik untuk tahu apakah kain tersebut mudah sobek atau tidak. Masalah daya tahan kain ini cukup rumit. Ada beberapa jenis kain—misalnya kain satin—yang secara daya tahan dia cukup kuat, tahan lama, tapi mudah sekali tersangkut (snagging) pada kuku jari. Material kain sekuat apa pun daya tahannya tentu akan tetap cepat rusak jika tidak dirawat dengan benar. Sebaliknya, bahan yang cukup rapuh (fragile) tetap bisa bertahan lama jika dirawat dengan benar. Maka dari itu, kami selalu mencoba memberi edukasi—yang kami sertakan di dalam kemasan produk—ke para pelanggan tentang bagaimana perawatan produk-produk STARRY yang mereka beli.
Apakah konsep brand dan fashion style yang STARRY gunakan saat ini sudah terpikirkan sejak awal ataukah hal tersebut berjalan seiring Kak Juliana mengembangkan STARRY?
Konsep STARRY berkembang seiring waktu berjalan. Kalau kamu membandingkan produk-produk STARRY yang aku buat saat ini dengan produk-produk STARRY yang aku buat sebelumnya, kamu bisa lihat perbedaan yang cukup jauh. Di awal-awal memulai STARRY, aku masih belum terlalu tertarik dengan sejarah fashion. Design wise yang aku buat untuk produk-produk STARRY masih berdasarkan apa yang aku suka dan mencoba menyesuaikannya dengan pasar. Semakin lama, seiring berjalannya waktu, aku semakin tertarik dengan sejarah fashion dan apa yang aku dapat dari sana aku coba terapkan ke produk-produk STARRY. Dari sana juga keinginan untuk membuat sesuatu yang beda, sesuatu yang menonjol, dan sesuatu yang belum ada di pasar semakin tinggi.
Aku percaya setiap orang berubah dan akan terus berubah. Semakin aku tua, ketertarikanku akan sesuatu akan semakin banyak dan semakin luas. Sebagai contoh ya ketika aku sekolah aku tidak suka sejarah tapi sekarang aku suka dan menganggap sejarah itu menarik. Aku percaya brand-ku juga akan berubah seiring dengan perubahanku sebagai pendiri dan perancang. Aku harap perubahannya ke arah yang lebih baik.
Sampai sekarang, sudah ada berapa artikel atau koleksi produk STARRY?
Aku sudah enggak hitung ada berapa artikel yang kubuat karena sudah banyak banget. Setiap aku dapat material kain yang bagus, aku biasanya langsung ingin buat sesuatu dari kain itu. Enggak aku tahan untuk sampai jadi satu koleksi. Aku sudah berhenti buat koleksi sejak tahun 2019 karena menurutku dan berdasarkan pengalamanku, membuat koleksi itu lebih tidak stabil untuk pemilik bisnis mikro karena kami harus membuat banyak sekali artikel dan meluncurkannya di waktu yang bersamaan.
Membuat koleksi itu butuh waktu yang lumayan lama karena mulai dari proses riset sampai pembuatan sample itu bisa sampai berbulan-bulan dan cukup menghambat proses penjualan. Jadi pada akhirnya, sejak 2019 sampai saat ini, setiap kali aku menemukan material kain yang bagus langsung kubuat sesuatu. Dengan begitu, aku bisa langsung jual produknya tanpa harus menunggu produk yang lain selesai. Material terbatas yang kami gunakan juga menjadi salah satu faktor mengapa kami berhenti membuat koleksi.
Sampai saat ini, STARRY sudah berkolaborasi dengan apa atau siapa saja?
Sejauh ini kami pernah berkolaborasi dengan fashion brand lain seperti MORAL, Love and Flair, dan seorang ilustrator bernama Rachel Ajeng. Yang paling sering itu kami berkolaborasi dengan Love and Flair di mana di sana kami pernah juga berkolaborasi dengan dua influencer yaitu Emily Jaury dan Pamela Wirjadinata.
Beberapa waktu yang lalu STARRY pernah mengadakan fashion show. Tolong ceritakan soal fashion show itu secara lebih detail.
Fashion show ini berada di bawah naungan Fashion Link. Mereka mengumpulkan tiga desainer yang diberi ruang untuk menggelar fashion show di Jakarta Fashion Week tahun 2022 lalu di Pondok Indah Mall 3. Judul tema fashion show yang kami gelar saat itu adalah Sunday in Sun’s Embrace. Tema ini terinspirasi dari cerita tentang orang-orang di sekitar abad 19—yang saat itu belum tercipta internet dan media sosial—pada umumnya akan pergi ke luar rumah seperti taman untuk mencari inspirasi dalam berkarya. Mereka kembali ke alam, mencari inspirasi dari alam untuk karya-karya mereka.
Sebagai salah satu contoh misalnya Claude Monet. Sebelumnya, para pelukis biasanya melukis di dalam ruangan, di dalam studio mereka. Mereka mengingat apa yang mereka lihat dan mereka tuangkan ke dalam media lukis. Namun Claude Monet ingin menangkap perubahan cahaya matahari seiring berjalannya waktu sehingga ia memilih untuk melukis di luar ruangan. Karyanya yang berjudul Impression, Sunrise merupakan asal nama penamaan aliran impresionisme1.
Contoh lainnya adalah Virginia Woolf. Setiap kali ia merasa buntu ketika menulis atau ketika peralatan menulisnya seperti pensil dan kertas habis, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke luar melihat alam sekitar, untuk kembali terhubung dengan alam dan mendapatkan inspirasi dari padanya.
Dari sana, aku terpikir kalau saat ini kita terlalu terekspos oleh media sosial. Aku merasa kalau saat ini kita mulai kehilangan diri kita sendiri di dalam era digital ini. Tanpa sadar kita menjadi terlalu sering membandingkan kehidupan dan diri kita sendiri dengan orang lain. Ketika orang lain melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu, kita merasa bahwa kita ingin—atau bahkan merasa harus—memiliki hal yang sama. Hal ini menjadi salah satu penyebab sebagian orang terjebak ke dalam hustle culture.
Koleksi ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk sadar bahwa melambat, menyisihkan waktu untuk beristirahat sejenak itu tidak apa-apa. Maka dari itu, dari judul dan tema fashion show Sunday in Sun’s Embrace ini aku ingin di waktu luang kita—di akhir pekan misalnya—kita melupakan sejenak tentang apa yang ada di media sosial, melupakan pekerjaan kita, dan mencoba meluangkan waktu untuk pergi ke luar untuk berinteraksi dengan alam. Karena menurutku, bagaimana kita bisa benar-benar tahu apa yang kita butuhkan, yang benar-benar kita inginkan, jika kita hanya terus melihat orang lain bukannya melihat ke dalam diri sendiri.
Di fashion show ini, STARRY menampilkan sebuah koleksi berisi enam belas desain pakaian. Ini kedua kalinya STARRY membuat koleksi untuk acara fashion show. Sebelumnya, STARRY menampilkan sekitar dua belas desain pakaian untuk acara Raya Fashion Festival yang masih berada di bawah naungan Fashionlink.
Apakah kejadian yang paling berkesan selama acara ataupun selama persiapan fashion show STARRY?
Semuanya. Aku menikmati keseluruhan pengalaman fashion show pertama STARRY ini mulai dari proses riset, diskusi, pembuatan sample, sampai produksi. Bagiku bagaimana kami menyaksikan hasil dari sketsa menjadi suatu produk yang nyata dan sesuai dengan ekspektasi kami adalah satu perasaan yang yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Untuk acara fahion show-nya sendiri, aku amat mengapresiasi keseluruhan momen acara. Karena, untuk pertama kalinya aku menampilkan enam belas desain sekaligus dalam satu acara. Aku juga merasa beryukur bahwa aku bisa memilih sendiri musik latar ketika acara berlangsung. Lagu yang aku pilih ketika semua model berjalan di atas cat walk adalah lagu gubahan Vivaldi. Sampai sekarang, tiap kali aku mendengar lagu itu, aku langsung teringat momen para model berjalan. Saking berkesannya momen itu, aku sampai punya tato bertuliskan judul lagu Vivaldi yang kuputar saat itu. Momen itu menjadi salah satu tonggak sejarah hidupku.
Menurut Kak Juliana, apa saja tantangan berkecimpung di ekosistem industri fashion design di Indonesia sejauh ini?
Buatku tantangan berbisnis fashion design di Indonesia itu lebih ke material karena di Indonesia, material yang secara desain dan pola bagus, belum banyak yang kualitasnya juga bagus. Detail-detail kecil seperti kancing, ritsleting—bahkan variasi ritsleting saja tidak banyak—dan renda-renda yang biasanya punya banyak variasi kalau di luar negeri, di Indonesia masih kurang banyak. Masih cukup sulit untuk bisa menemukan material kain yang secara detail, pola, dan kualitas sama-sama bagus untuk di Indonesia kalau dibandingkan ketika aku jalan-jalan ke fabric sourcing place (tempat sumber mencari material kain) di luar negeri.
Tantangan lainnya adalah kualitas sumber daya manusianya. Masih sulit buatku menemukan penjahit yang kualitas jahitannya sesuai dengan standar internasional. Hal itu disebabkan karena di Indonesia banyak sekali fast fashion brand yang membayar para penjahit dengan harga murah dan mereka dibayar berdasarkan kuantitas bukan kualitas; semakin banyak jahitan yang mereka selesaikan, maka bayaran yang mereka dapatkan akan semakin banyak. Oleh sebab itu, masih banyak penjahit di Indonesia yang mengutamakan kecepatan mereka dalam menyelesaikan jahitan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat bukan dari kualitas jahitan mereka.
Apa harapan Kak Juliana untuk ekosistem industri fashion design di Indonesia ke depannya baik untuk para pelanggan atau para sesama fashion designer?
Kalau untuk para pelanggan, aku harap mereka bisa lebih sadar dengan apa yang mereka beli. Jangan sampai beli baju baru dipakai dua-tiga kali lalu tidak dipakai lagi atau beli sesuatu hanya karena murah tapi cepat rusak. Hal ini hanya akan membuat sampah pakaian semakin menumpuk; tidak berkelanjutan (sustainable). Aku harap mereka bisa memperhitungkan pakaian yang akan mereka beli itu bisa dipakai di mana saja, dalam acara apa saja, akan sering dipakai atau tidak, sehingga pakaian yang mereka beli bisa bertahan dan bermanfaat bagi mereka untuk waktu yang lama.
Aku juga berharap semoga ke depannya secara kualitas dan penjualan, produk-produk fashion di Indonesia bisa tembus ke standar dan pasar internasional, serta bisa menjadi pelopor tren fashion design dalam cakupan internasional.
1Claude Monet Biography and Monet Canvas Prints Gallery. Diakses pada tanggal 14 Mei 2023.dari https://www.accents-n-art.com/artists/claude-monet-biography.html

Leave a comment