Desain Berkelanjutan dan Eksplorasi Material Residu oleh Widi Asari

FASHION | BANDUNG | INDONESIA | 2023

Widi Asari dalam Pawon Paéling-Éling (foto oleh Taufik Darwis).

Setelah selama empat tahun menggeluti proyek-proyek rancangan busana (fashion design) yang berhubungan dengan material terbarukan dan isu fesyen berkelanjutan (sustainable fashion) yang membawakannya beberapa pernghargaan, Widi Asari menginisiasi proyek film Pawon Paéling-Éling (The Homage). Proyek film ini terlahir dari perjalanan Widi Asari pada tahun 2019 ke desa adat Kanekes di Baduy dan Ciptagelar di Sukabumi yang kemudian hasil akhirnya dipublikasikan pada Februari 2023 lalu.

Proyek film ini diinisiasi sebagai bentuk media bagi Widi Asari untuk mengekspresikan dirinya, mengurai keresahannya tentang desain fesyen keberlanjutan (sustainable fashion design), dan sebagai proses membaca ulang kerja profesinya sebagai perancang busana. Melalui film ini juga, Widi Asari ingin mendialogkan apa yang terjadi dalam hiruk-pikuk, gelap-terangnya sebuah isu fesyen berkelanjutan. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan agar dirinya bisa lebih jernih dalam melangkah dan tidak terlena oleh sebuah topik atau tren mode yang sedang ramai.

Awal Mula Eksplorasi Material Residu

Latar belakang ibu yang berprofesi sebagai penjahit, Widi Asari sering membuat pakaian dengan bahan sisa sejak kecil. Bahan-bahan yang biasanya ia gunakan adalah kantung plastik atau bahan apa pun yang sudah dibuang dan tidak digunakan lagi oleh ibunya. Kebiasaan membuat pakaian dari bahan bekas ini terjadi karena sejak kecil ia memiliki ketertarikan untuk membuat pakaian tapi bukan dari kain yang masih digunakan oleh ibunya.

Kebiasaan mengumpulkan bahan sisa ini berlanjut sampai ketika Widi Asari berada di bangku perguruan tinggi. Ketika teman-temannya membeli bahan kain baru untuk karya tugas mata kuliah, Widi memilih untuk mencari benang dan kain bekas dengan kualitas yang masih bagus di daerah sekitar tempat tinggalnya di dekat Cigondewah, Bandung.

Lusi Pakan Sumbi: Failure The Couture (2020)

Untuk detail mengenai detail konsep Lusi Pakan Sumbi: Failure The Couture bisa dibaca di sini.

Bodies That Make, Bodies That Consume (2022)

Bodies That Make, Bodies That Consume, 2022 (foto oleh Taufik Darwis).

Bodies That Make, Bodies That Consume, merupakan karya seni instalasi kolaborasi Widi dan tiga desainer-seniman lainnya yang berlangsung di Arnhem, Belanda pada September 2022. Kota yang dikenal sebagai salah satu kota keberlanjutan (sustainable city) mempunyai sebuah acara fashion biennale yaitu State of Fashion. Bersama Riyadhus Shalihin yang sudah berkolaborasi sebelumnya dengan Widi di proyek Lusi Pakan Sumbi, Santiago Útima dari Kolombia, dan Siviwe James dari Afrika Selatan, Widi Asari mengangkat isu desain keberlanjutan, isu buruh, dan pencemaran lingkungan dalam karya instalasi ini.

Isu-isu tersebut ditampilkan melalui karya instalasi berupa beberapa kemeja dan blus putih yang digantung. Pakaian-pakaian tersebut mengambil siluet seragam buruh dari negara masing-masing perancang yaitu Indonesia, Kolombia, dan Afrika Selatan. Di pakaian-pakaian berwarna putih yang dipajang itu, para perancang membubuhkan noda-noda sebagai ilustrasi jejak keringat para buruh. Hal ini terinspirasi dari noda kuning dan hitam yang biasanya terdapat pada seragam buruh yang sudah usang dan terlalu lama dipakai. Jejak keringat para buruh yang para perancang coba buat replikanya terbuat dari limbah industri fesyen dari masing-masing negara. Sebagai contoh Widi dan Riyadh mengambil noda dari aliran limbah pabrik di sungai serta karat-karat di pipa limbah yang kemudian mereka percikkan ke kemeja dan blus putih itu.

Selain noda jejak keringat yang dibuat dari limbah, pakaian-pakaian yang dipajang di instalasi ini juga dibubuhi oleh care labour. Ide ini terinspirasi dari label panduan perawatan yang biasanya ada pada setiap pakaian, care label. Jika pada umumnya care label berisi panduan perawatan pakaian seperti bagaimana mencucinya, merawatnya, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan agar pakaian tersebut awet, care labour ini berisi panduan bagaimana cara menghargai para pekerja dan buruh.

Pawon Paéling-Éling – The Homage (2023)

Judul Pawon Paéling-Éling sendiri berasal dari bahasa Sunda di mana pawon berarti dapur dan paéling-éling berarti saling mengingatkan. “Mengapa dapur? Karena dapur di desa adat Kanekes dan Ciptagelar merupakan tempat yang dekat dengan perempuan. Di Ciptagelar sendiri terdapat Dapur Imah Gede, yaitu sebuah dapur umum di rumah ketua adat di mana para perempuan dewasa akan memasak bersama-sama,” jelas Widi Asari.

Kegiatan di dalam film Pawon Paéling-Éling (The Homage) ini memang banyak melibatkan perempuan. Mulai dari Widi Asari sendiri sebagai konseptor dan perancang busana yang menginisiasi proyek ini, para penenun Kanekes, para pembuat kebaya dari Kasepuhan Ciptagelar (Gelar Alam), Kelompok Gondang dan Pawon (dapur) Kasepuhan Ciptagelar (Gelar Alam), desainer pola kebaya, sampai manajer produksi. Jadi, itulah mengapa pawon paéling-éling dijadikan judul film ini.

Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa proyek ini berawal dari perjalanan Widi Asari ke desa adat Kanekes di Baduy dan Ciptagelar di Sukabumi pada tahun 2019. “Ketika pertama kali ke Baduy (Kanekes), saya sebagai orang yang tumbuh besar di kota sempat membayangkan bahwa orang-orang Baduy akan memproduksi sendiri tekstil mereka mulai dari menanam kapasnya sampai menjadi kain. Tapi ternyata mereka pun menenun menggunakan bahan dari daerah kelahiran ibunya yaitu Majalaya,” tutur Widi Asari.

Para penenun di Kanekes lebih memilih untuk menggunakan bahan benang poliester ketimbang bahan benang katun yang mana benang katun berasal dari tumbuhan sedangkan benang poliester adalah benang sintetis. “Waktu saya tanya mengapa mereka lebih suka memakai bahan poliester, mereka menjawab bahwa benang poliester lebih mudah untuk ditenun,” lanjut Widi Asari.

“Waktu mendengar itu, saya sempat terpikir bahwa apa yang mereka lakukan yaitu menggunakan benang sintetis untuk menenun dari pada benang katun merupakan suatu kontribusi perusakan lingkungan. Tapi ternyata saya baru sadar kemudian bahwa poin penting keberlanjutan dalam dunia desain tidak sesederhana itu. Ada banyak lapisannya. Belum tentu penggunaan bahan katun yang berasal dari tumbuhan akan memiliki nilai keberlanjutan lebih dari penggunaan bahan poliester.”

“Pemakaian bahan katun atau setiap material berbahan dari alam, selama dalam prosesnya memakai pestisida yang berlebihan—misalnya seperti sekarang ada material rayon yang mengkampanyekan dirinya sebagai material keberlanjutan karena berasal dari pohon, namun proses dari batang sampai menjadi seratnya bagaimana? Lalu penanaman pohonnya juga termasuk hutan tanaman industri yang mengganggu hutan heterogen. Nah, di situ saya mulai bertanya-tanya keberlanjutannya itu di mana?”

“Seperti halnya masyarakat Baduy ini. Meskipun mereka menggunakan bahan benang sintetis untuk pakaian mereka, mereka memperlakukan pakaian dengan lebih bijaksana. Selain itu, kain tenun dari Baduy juga dibeli oleh masyarakat di desa Ciptagelar sehingga terjadi siklus perpindahan dan tidak langsung terbuang,” lanjut Widi Asari bercerita.

Apa yang dilihat Widi Asari pada masyarakat Kanekes dan Ciptagelar dan pengalaman pribadinya mengenai fenomena kampanye desain fesyen keberlanjutan membawa perspektif baru bagi Widi tentang makna dan fungsi sebuah kain. Hal ini juga menjadi refleksi diri terhadap kerja yang selama ini Widi lakukan dalam mengeksplorasi material residu dan keterlibatannya dalam merespon isu keberlanjutan.

“Bukan hanya karena suatu brand memakai material yang katakanlah ramah lingkungan, mereka sudah benar-benar ramah lingkungan. Banyak hal yang harus diperiksa kembali. Apakah kesejahteraan pekerjanya diperhatikan? Para desainer yang merancang dan melakukan risetnya dihargai atau tidak? Apakah proses dari penanaman pohon sampai menjadi kain sudah seminimal mungkin tidak merusak lingkungan? Nah, Pawon Paéling-Éling ini mengingatkan saya kembali untuk berkaca, ‘Oh ternyata pekerjaanku yang mengolah material residu ini belum tentu kok benar-benar sustainable dibandingkan orang-orang di desa Kanekes dan Ciptagelar yang memperlakukan material kain dan benang dengan lebih perhatian (mindfulness), yang benar-benar tidak mencederai lingkungan bukan atas kepentingan pribadi’.”

Sebagai desainer yang sudah punya prestasi cukup banyak, ada kah pesan atau saran yang ingin disampaikan untuk teman-teman lain yang sedang menempuh pendidikan di bidang fashion design atau orang-orang yang sedang merintis di dunia fashion design?

“Saat ini peluang menjadi perancang busana sepertinya mudah bagi siapa saja, apalagi melahirkan sebuah produk dan brand. Tapi yang menjadi sulit adalah bagaimana kita memposisikan karya kita di mana ia berada, bagaimana mengembangkannya, serta menjadi konsisten itu yang menjadi tantangan. Menjadi perancang busana itu kalau sekarang kalau hanya untuk punya brand, siapa pun bisa. Selebriti ketika punya modal juga bisa. Kita sekarang ini punya banyak pilihan dan cara. Menjadi perancang busana yang peduli terhdap value dan kritik atas karyanya itu punya nilai lebih dibandingkan perancang lain.”