ART | EXHIBITION | SURABAYA | INDONESIA | 2023

Terinspirasi dari ungkapan “a picture is worth a thousand words (sebuah gambar bernilai ribuan kata)”, Zarani Risjad selaku kurator memilih A Thousand Words sebagai judul pameran ketiga Orasis Art Space. Keenam seniman yang bercerita melalui karya-karyanya di pameran ini antara lain Aharimu, Bodas Ludira Yudha, Elma Lucyana, Muklay, Urubingwaru, dan kolektif seni WAFT Lab. Pameran A Thousand Words dibuka untuk publik mulai dari tanggal 30 April sampai dengan 28 Mei 2023 yang mana sebelumnya pada tanggal 29 April diselenggarakan vernissage dan opening party.
Vernissage adalah acara pratinjau pameran seni sebelum pembukaan formal yang biasanya bersifat pribadi atau tidak dibuka untuk umum melainkan khusus untuk tamu undangan. Vernissage di pameran ini diadakan khusus untuk para kolektor karya seni terutama para kolektor muda yang ingin mulai mengoleksi suatu karya. Sedangkan untuk acara opening party ditujukan bagi para anak muda yang sedang merintis sebuah bisnis, para kerabat, dan para rekan seniman lain yang Orasis Art Space sebut sebagai creative neighbours.
Art performance dari Puri Senja menjadi salah satu suguhan di acara vernissage. Bernama lengkap Putri Senjani Apriliani, ia adalah seorang seniman tari kelahiran Surabaya. Ia mengembangkan potensinya di bidang seni tari dengan bergabung di beberapa komunitas tari seperti Sawung Dance Studio dan Surabaya Stage Dance. Pada tahun 2019, Puri Senja mengembangkan karya solonya yang berjudul The Other Half dan dipentaskan di beberapa festival tari di Indonesia. Dalam karya-karyanya ia merespon pengalaman empiris perempuan, isu-isu sosial, dan kesetaraan gender. Tarian yang Puri Senja tampilkan pada acara vernissage merespon karya instalasi Bodas Ludira Yudha, Excavator – Komposisi Istirahat.
Selain art performance, sebuah tur kuratorial dipandu oleh Zarani Risjad diadakan di acara vernissage tersebut. Urubingwaru dan Aharimu juga menjelaskan tentang karya mereka masing-masing kepada para tamu undangan. Acara vernissage berlangsung mulai dari pukul empat sore sampai pukul tujuh malam. Kemudian mulai dari pukul tujuh malam sampai pukul sepuluh malam, para pengunjung disuguhi sajian musik berupa live DJ dari Dunia Dalam Analog.
Pada hari pertama pameran dibuka untuk publik pada tanggal 30 April 2023, selain tur galeri, ada dua acara pendamping yang terbagi ke dalam dua sesi yaitu artist talk bersama Bodas Ludira Yudha pada sesi pertama dan tur kuratorial bersama Zarani Risjad pada sesi kedua.
Artist Talk bersama Bodas Ludira Yudha


Dalam acara artist talk, Bodas Ludira Yudha berbincang membahas lebih dalam karya-karyanya baik yang dipamerkan di pameran ini maupun karya-karya Bodas selama ini secara umum, filosofinya dalam berkarya, cerita-cerita yang ingin disampaikan lewat karya-karyanya, dan diakhiri dengan sesi tanya-jawab dengan peserta artist talk.
Tur Kuratorial Bersama Zarani Risjad

Zarani Risjad memulai tur dengan menyampaikan tema pameran dan apa yang mendasarinya memilih judul tersebut. Seperti yang sudah disebutkan di awal, judul pameran ini terinspirasi dari ungkapan “a picture is worth a thousand words (sebuah gambar bernilai ribuan kata)” di mana sebuah gambar bisa menyampaikan perasaan-perasaan yang kompleks, ide, dan pengalaman-pengalaman yang sulit diungkapkan oleh kata-kata (Zarani Risjad, 2023). Enam seniman menyampaikan cerita mereka melalui karya seni kontemporer yang mereka buat. Cerita-cerita yang disampaikan mencakup cerita pengalaman pribadi mereka, cerita yang mereka dapat dari pengalaman orang dan komunitas di sekitar mereka, sampai karya yang merespon beberapa cerita fiksi yang memiliki isu atau masalah menarik untuk diangkat.
Zarani juga menjelaskan mengenai mengapa bercerita (storytelling) menjadi aktivitas yang disorot pada tema pameran kali ini.
Sejak zaman kuno, cerita-cerita seperti dongeng dan mitologi diceritakan secara turun-temurun. Berlanjut ke masa-masa sesudahnya, setiap karya seni yang dibuat memiliki cerita tersendiri di baliknya. Ketika seni lukis abstrak mulai muncul di awal abad 20, narasi atau cerita perlahan hilang dari suatu karya seni. Namun, seniman kontemporer telah menemukan dan memperkenalkan kembali narasi yang menggabungkan, mencampur, menumpang tindih benang-benang cerita baik berasal dari pengalaman pribadi maupun kolektif, fiksi maupun nonfiksi1.
Setelah menjelaskan mengenai tema pameran, Zarani Risjad mulai menjelaskan setiap karya yang dipamerkan di dalam pameran A Thousand Words ini.
Urubingwaru

Suliswanto Urubingwaru adalah seorang seniman kelahiran Kediri yang selain aktif berkarya seni rupa, Urubingwaru juga aktif menulis baik fiksi maupun nonfiksi. Tulisan yang ia buat antara lain dalam bentuk cerpen, puisi, esai yang biasanya berupa kritik seni, hingga biografi seniman. Beberapa tulisannya pernah diterbitkan untuk Artjog, Biennale Jogja, Buku Seni Rupa, dan di kolektif yang ia buat. Ia menggagas dua kolektif seni yaitu Gelora Art Group (GAG) dan Titik Kumpul Forum yang mana keduanya berbasis di Yogyakarta. Di pameran A Thousand Words, Urubingwaru menghadirkan empat karya yang ia buat dari sekitar tahun 2020-2021 sampai tahun 2022 yaitu Dua Perempuan dan Malam Aneh, Just A Boy with Two Cats and Three-Legged Dog, The House of Blue, dan A. Mushawwir: The Beauty from The Darkness.
Pada tahun 2021, Urubingwaru mendapatkan penghargaan Karya Favorit pameran “Rite de Passage” Aksi Artsy #4 di Yogyakarta. Pada tahun 2020, ia mendapatkan Medali Perunggu kategori lukis di Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMNAS) oleh Pusat Prestasi Nasional (Zarani, 2023).
Saat ini, Urubingwaru sedang melanjutkan studinya di program studi seni rupa murni (fine art) ISI Yogyakarta. Urubingwaru memulai karirnya sebagai seniman profesional semenjak ia lulus dari SMA di tahun 2019. Bagi dirinya, berkesenian tidak harus menunggu seorang seniman untuk mendapatkan selembar ijazah dari institusi pendidikan (wawancara pribadi, 2023). Dua Perempuan dan Malam Aneh merupakan salah satu karya dari periode awal karir Urubingwaru sebagai seniman profesional. Karya ini memiliki kecenderungan yang agak berbeda dibandingkan tiga karya lainnya yang dipamerkan. Karya ini memiliki kesan lebih fantasi atau surreal.

Kemudian karya lainnya yang ia pamerkan di pameran ini yang berjudul A. Mushawwir: The Beauty from The Darkness merupakan salah satu karyanya di tahun 2021. Karya ini terinspirasi dari dua buat novel fiksi yang ia baca yaitu My Name is Red karya Orhan Pamuk dan My Name is Asher Lev karya Chaim Potok. Kedua novel ini membahas masalah yang sama yaitu kaitan antara estetika dengan moral agama. Agama abrahamik seperti Islam, Kristen Ortodoks, dan Yahudi memiliki larangan untuk menggambar sesuatu dengan sempurna atau realistis. Hal ini memantik pertanyaan dalam dirnya, “Bagaimana sebetulnya masalah antara estetika dan moral agama ini?”
Lukisan ini mengadaptasi sebuah bagian di novel Chaim Potok. Figur seorang ayah yang berprofesi sebagai rabi di novel tersebut berada di posisi lebih tinggi di bagian belakang merupakan simbol otoriterisme kepercayaan. Sedangkan sang seniman yang ada di bagian depan lukisan, merupakan petunjuk bagi para penonton agar melihat masalah estetika ini dari kaca mata seni karena yang ada di hadapan mereka adalah seorang seniman. Karena jika dilihat menggunakan kaca mata lain, jawabannya pun akan lain (wawancara pribadi, 2023).
Urubingwaru banyak mendasarkan proses kreatifnya dan proses visualisasinya dari referensi literatur. Meskipun literatur bukan satu-satunya karya yang ia nikmati selain seni rupa karena ia juga menikmati hal lain seperti musik dan arsitektur, karya literatur menjadi referensi yang paling besar. Berkaitan dengan tema pameran yang mana adalah bercerita melalui karya, kegiatan bercerita atau storytelling bukan lah suatu hal yang asing bagi Urubingwaru. Hal ini dimulai sejak ia kecil di mana ayahnya merupakan pencerita yang ulung di mata Urubingwaru meskipun ayahnya bukan seorang seniman. Baginya, bercerita adalah sesuatu yang harus ia lakukan karena selama hidupnya banyak sekali diisi oleh mendengarkan cerita.
Dua lukisan lainnya merupakan karya yang ia buat di tahun 2022 yaitu Just A Boy with Two Cats and Three-Legged Dog dan The House of Blue. Dua lukisan ini menggambarkan situasi yang tampak biasa-biasa saja yang dijiwai dengan rasa surealis, atau lebih tepatnya, realitas yang terdistorsi, untuk menyampaikan emosi yang kompleks dan suasana yang padat1. Karya-karyanya di tahun 2022 mengalami perkembangan berupa teks pendamping karya. Urubingwaru mencoba membuat karya tulisan berdasarkan lukisan yang ia buat. Hal ini ia coba lakukan dengan maksud memahami dan menjelaskan dengan bahasa verbal tentang apa sebenarnya yang ada di lukisannya ini.
WAFT Lab


Di pameran A Thousand Words ini, WAFT Lab memamerkan dua karya multimedia interaktif yang mempelajari narasi yang ditemukan dalam objek sehari-hari serta hubungan antara masyarakat dan teknologi. Karya-karya WAFT Lab ada di persimpangan seni, sains, dan teknologi. Kolektif ini peduli dengan penelitian, peretasan, atau dekonstruksi materi sehari-hari untuk memberikan kehidupan baru atau fungsi baru pada objek atau perangkat yang sudah dikenal, serta mengadakan lokakarya, pembicaraan, atau presentasi yang mempromosikan pembelajaran, berbagi, dan pertukaran pengetahuan1.
Seniman kolektif yang berbasis di Surabaya ini menghadirkan dua buah karya yaitu Wanmenben dan Eya Eyo. Wanmenben ditempatkan di area tengah galeri di area pertama ketika pengunjung memasuki ruang galeri sedangkan Eya Eyo ditempatkan di salah satu sudut di area kedua ruang galeri. Wanmenben dan Eya Eyo menyorot hubungan kita sebagai manusia dan teknologi.
Wanmenben ditempatkan di tengah ruangan menjadikannya daya tarik tersendiri. Selain karena bentuknya yang unik, Wanmenben juga merupakan karya instalasi interaktif yang membuat pengunjung tertarik untuk mencoba dan memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung. Pengunjung bisa membuat komposisi musik mereka sendiri dengan menekan tombol-tombol yang ada di sana, merekamnya, dan memutarnya kembali. Pipa-pipa besi yang digunakan pada Wanmenben merupakan daur ulang pipa bekas sedangkan alat-alat seperti panci dalam Wanmenben mereka beli dari toko peralatan dapur di pasar. Wanmenbend merupakan karya yang terinspirasi dari para pengamen yang bisa memanfaatkan serta menggunakan barang-barang bekas dan membuat instrumen musik dari padanya.

Pada karya Eya Eyo, WAFT Lab menggunakan mainan anak-anak dan di setiap mainan anak-anak yang dipajang tersimpan suara yang direkam (recorded sound) para seniman sendiri yang berbunyi eya-eyo, rekaman suara penjual roti, dan lain-lain.
Persamaan di antara Wanmenben dan Eya Eyo adalah WAFT Lab menggunakan device atau alat canggih namun mereka sambungkan ke alat analog. Dengan kata lain, mereka mencoba membuat sesuatu yang cerdas menjadi bego. WAFT Lab menggunakan konsep ini untuk memicu pertanyaan tentang hubungan kita dengan teknologi.
Elma Lucyana

Kenangan masa kecil Elma tentang ibunya yang bekerja sebagai penjual bunga menginspirasinya untuk menciptakan seni yang menyoroti ketidaksempurnaan pada bunga. Jika rangkaian karya ibunya menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional yang melekat pada bunga sebagai suatu objek yang indah dan rapuh, bunga yang Elma coba tampilkan dalam karya-karyanya mengatakan hal sebaliknya. Elma menekankan sudut pandang lain mengenai bunga yaitu sebagai suatu objek yang kuat dan memiliki ketidaksempurnaan. Seperti kelopak bunga yang biasanya diapresiasi karena rupa dan warnanya padahal fungsi utama dari kelopak bunga adalah untuk melindungi mahkota bunga ketika bunga masih muda dan melindungi kuncup ketika bunga sedang berkembang.



Cara pandang Elma tentang bunga ini diperkuat dengan dua karya yang Elma tampilkan di A Thousand Words yang berjudul Belladonna dan Devil’s Trumpet. Judul kedua karya itu diambil dari nama jenis bungan beracun. Karenanya, bunga yang Elma gambarkan dalam dua karyanya di A Thousand Words ini lebih menggambarkan kesan grotesque. Dari karya ini, Elma ingin mengingatkan kita untuk tidak menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja. Hal ini konsisten dengan filosofi pribadi Elma saat ini yaitu celebrating imperfection and celebrating complexity (merayakan ketidaksempurnaan dan kompleksitas).
Aharimu

Adine Halim atau yang lebih dikenal dengan nama Aharimu adalah seorang seniman visual yang mengeksplorasi tema-tema seperti kemanusiaan dan identitas manusia melalui narasi pribadi1. Di pameran A Thousand Words, Aharimu memamerkan empat buah karya dari koleksi Twisted Bodies miliknya yaitu Sex No. 64, Nude in Yellow, Smoking Figure, dan Nude with A Chair. Twisted Bodies adalah sebuah koleksi potret abstrak di mana setiap karya menceritakan cerita yang berasal dari interaksi Aharimu dengan banyak orang selama dua tahun terakhir.


Di dalam setiap karya koleksi Twisted Bodies, bentuk-bentuk organis seperti potongan-potongan anggota tubuh yang bergerak meliuk, tidak pada tempatnya, serta proporsinya yang tidak sesuai proporsi anggota tubuh pada umumnya mendominasi. Hal ini merupakan dampak dari kebutaan spasial yang dialami Aharimu ketika ia remaja yang menyebabkannya kesulitan mengingat dan meniru gerakan dasar, wajah, bahkan nama. Akibatnya, Aharimu menjadi memiliki kebiasaan memperhatikan gerak tubuh, kebiasaan, tingkah laku, dan fisik orang. Dari sini Aharimu menyadari bahwa setiap individu memiliki gestur tubuh yang unik.
Bodas Ludira Yudha

Di pameran A Thousand Words ini, Bodas Ludira Yudha memamerkan karya instalasi dan karya visual dengan media wire mesh dan cat akrilik. Karya instalasinya yang berjudul Komposisi Istirahat dipajang di bagian muka atau fasad Orasis Art Space dan akan dilihat pengunjung sebelum mereka memasuki area kafe dan galeri. Karya instalasi tersebut terdiri dari dua bagian yang masing-masing diberi judul Excavator serta Gerobak dan Sekop yang merupakan replika ekskavator, gerobak, dan sekop dalam ukuran asli menggunakan material wire mesh. Dua karya ini masing-masing mewakili industri dan populasi pedesaan. Di antara kedua karya ini terbentang segunduk pasir besi yang ditambang dari pantai Lumajang. Karya ini merupakan responnya terhadap keluhan komunitas di sekitar daerah kelahirannya yang terkena dampak negatif dari pertambangan pasir hitam di Lumajang, Jawa Timur.

Tiga karya lain miliknya dipajang di dalam galeri. Ketiga karya itu berjudul Mugi Slamet, Dihantam Tambang, dan The Black Gold. Dalam karya Dihantam Tambang, Bodas mencoba menceritakan cerita yang pernah diberitakan tentang seorang penambang bernama Salim Kancil, yang pada satu waktu memutuskan untuk bertolak menentang pertambangan di Lumajang namun berakhir terbunuh karena penolakannya.
Yudha tidak mempersoalkan nilai pembangunan atau berusaha mengurutkan prioritas di lingkungan sosial-ekonomi kampung halamannya. Sebaliknya, ia menceritakan kisah-kisah komunitas yang terpinggirkan melalui karya seninya, yang kerap melahirkan tema-tema ketegangan atau dualitas dalam karyanya. Dualitas ini menjadi ciri dari praktik Yudha, dan dalam A Thousand Words, konflik antara tradisi dan kemajuan direpresentasikan sebagai bagian dari sejarah kolektif Jawa Timur1.
Muklay

Muklay adalah seorang seniman visual yang menggunakan gaya grafis pop art untuk mengungkapkan refleksi diri dan kebenaran batin (inner truths). Terlibat aktif dalam budaya dan gaya hidup populer, Muklay sering menggunakan budaya pop dalam karya seninya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan terdalamnya, merefleksikan perjalanan dan pengalaman pribadinya yang tumbuh di dunia yang terus berubah. Karyanya sering menguraikan vitalitas budaya anak muda modern dan kecemasan (anxiety) yang terkait dengan operasi di lingkungannya yang bergerak cepat (fast-paced environment).

Karya cat semprot Ribet Loe, 1 dan 2 adalah bagian dari rangkaian lukisan terbaru Muklay. Mereka menggambarkan karakter berkostum yang memancarkan permusuhan yang menurut Muklay, merupakan respons terhadap kemunafikan yang sering ditemukan di benteng kekuasaan dan organisasi hierarkis, khususnya dalam dunia seni.
Karya-karya ini, menurut sang seniman, merupakan reklamasi identitas dan ekspresi diri dari mereka yang mengaku menerima keberagaman namun pada kenyataannya hanya menerima yang mereka anggap sesuai dengan standar mereka. Bagi Muklay, ungkapan terbuka ‘ribet loe’ menetapkan niat pribadi untuk menjadi diri sendiri tanpa penyesalan1.
Orasis Art Space; Arsitektur Berkonsep Introvert


Bagi pengunjung yang baru pertama kali datang ke Orasis Art Space mungkin akan bertanya-tanya ketika sampai di Orasis Art Space mengapa sebuah bangunan yang diperuntukkan sebagai tempat pameran dari “depan” terlihat tertutup dinding-dinding batu bata kelabu yang disusun tinggi. Hal ini dikarenakan bangunan Orasis Art Space didesain dengan konsep introvert yang yang diterapkan berdasarkan kepribadian pemilik Orasis Art Space yang pemalu. Bagian fasad bangunan Orasis Art Space atau yang disebut sebagai patio berada di bagian “belakang” atau dengan kata lain sebetulnya pengunjug yang mengunjungi Orasis Art Space akan melihat bagian belakang Orasis Art Space terlebih dahulu dan bagian depannya akan terlihat ketika sudah berjalan memasuki Orasis Art Space. Penjelasan lengkap mengenai konsep introvert dalam arsitektur bangunan Orasis Art Space akan dijelaskan oleh tour guide ketika pengunjung mengikuti rangkaian kegiatan A Thousand Words.
Kegiatan Lainnya


Selama pameran A Thousand Words berlangsung, para pengunjung bisa melakukan aktivitas lain selain tur museum dan bersantai di pop-up cafe yang diisi oleh Nomu Cafe and Bistro. Orasis Art Space menyediakan berberapa kegiatan pendamping seperti lokakarya (workshop), artist talk, dan kegiatan art station. Untuk kegiatan lokakarya akan dipandu oleh seniman yang terlibat. Selama pameran berlangsung sampai tanggal 28 Mei 2023, akan ada dua artist talk lain bersama Aharimu dan Elma Lucyana serta beberapa kegiatan lokakarya. Informasi lebih lanjut mengenai kegiatan yang disebutkan bisa didapatkan dengan mengikuti akun instagram Orasis Art Space karena informasi lebih detail akan diumumkan di sana.
Reservasi Kunjungan
Jika ingin mengunjungi pameran A Thousand Words pengunjung bisa langsung melakukan reservasi melalui website yang tertera pada instagram Orasis Art Space atau http://www.orasis.art. Sedangkan untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan pendamping pameran seperti artist talk dan workshop pengunjung bisa mengikuti akun instagram Orasis Art Space karena informasi lebih lanjut akan diunggah di sana.
1Diterjemahkan dari Katalog A Thousand Words, Zarani Risjad, 2023.
Leave a comment