Lembâna Artgroecosystem: Kolektif Seni Berbasis Agrikultur di Madura

ART | COMMUNITY | MADURA | INDONESIA | 2023

Pertunjukan Bunyi oleh Bethara Lendir dan Toyol Dolanan Nuklir pada salah satu rangkaian acara Babad Lembâna II, 18 Desember 2022

Lembâna Artgroecosystem adalah kolektif seni yang berbasis di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Didasari oleh keinginan untuk bercakap melalui praktik kesenian, saling bertukar kebudayaan dan kesenian baik dari dalam ke luar maupun dari luar ke dalam, tiga orang seniman asal Madura berinisiatif membentuk sebuah kolektif seni berbasis agrikultur. Tiga orang seniman yang dimaksud adalah Fikril Akbar, Shohifur Ridho’i, dan Syamsul Arifin.

Pada suatu acara diskusi yang diadakan oleh Biennale Jatim pada hari Sabtu, 18 Maret 2023, kami berkesempatan untuk bercakap dengan salah satu pendiri Lembâna Artgroecosystem yang saat itu menjadi salah satu narasumber diskusi, Syamsul Arifin. “Lembâna Artgroecosystem adalah sebuah kelompok kolektif seni yang berbasis di ruang agrikultur atau pertanian. Kami mencoba bagaimana kami sebagai seniman belajar kembali tentang lanskap sosial yang kami hadapi di sekitar kami sehari-hari seperti agrikultur atau pertanian dan kebudayaan yang ada di sekitarnya,” jelas Syamsul Arifin ketika kami tanya tentang apa itu Lembâna Artgroecosystem.

“Lembâna itu sendiri merupakan nama tempat. Sebuah area berbentuk cekungan yang diapit oleh 2 buah bukit. Secara administratif, Lembâna berada di Desa Pregih. Nama Lembâna sendiri diciptakan oleh masyarakat setempat. Penandanya adalah sebuah masjid yang kemudian menerus sekitar 300 meter ke arah selatan. Sebesar itu lah Lembâna,” Syamsul melanjutkan penjelasannya.

Berdasarkan profil komunitas Lembâna Artgroecosystem yang ditulis oleh Shohifur Ridho’i, “Proyek-proyek Lembâna Artgroecosystem berada di persimpangan antara masalah-masalah kewargaan di kebudayaan rural dengan eksperimentasi seni dan partisipasi warga yang digerakkan oleh komunitas anak muda. Proyek-proyek Lembâna Artgroecosystem bertumpu pada pertunjukan sebagai pendekatannya, sehingga ide utama yang dikelola ialah tentang keruangan.”

Lebih lanjut mengenai filosofi dasar dari kegiatan yang dilakukan oleh Lembâna Artgroecosystem, kami mengutip Kerangka Kuratorial Babad Lembâna 2022 yang ditulis oleh Shohifur Rhido’i sebagai berikut. “Percakapan mengenai lokalitas acap dipahami dalam kerangka etnisitas, yakni sistem nilai tertentu (beserta seluruh produk kebudayaan turunannya) yang beroperasi di dalam satu kelompok sosial, biasanya terhubung dalam garis keturunan yang sama. Di dalam sistem nilai tersebut terdapat ikatan primordial suatu komunitas masyarakat dengan ‘subjek-subjek material’ yang dianggap representasi dari nilai ‘kebenaran’.”

“Babad Lembâna hendak melampaui itu, yakni dengan menempatkan kerangka di atas sebagai pengetahuan dasar untuk merumuskan pikiran dan merefleksikan kenyataan mengenai lokalitas. Pilihan ini ditempuh untuk menghindari jebakan politik representasi identitas yang berpotensi melemparkan kita (seniman/kelompok kelas menengah) ke dalam jurang cara pandang kolonialistik. Oleh karena itu, proyek ini akan membicarakan lokalitas dalam hubungannya dengan entitas ‘lokal’ (cara pandang/ekosistem) yang lain. Dengan cara itu kita dapat memapar kebudayaan dalam konteks yang lebih luas, yakni bagaimana satu nilai bercakap dengan nilai yang lain, bagaimana suatu sistem sosial saling mempengaruhi satu sama lain. Percakapan selanjutnya adalah pertumbuhan gagasan mengenai imajinasi kita atas dunia yang saling terhubung bukan melalui jejaring dan kekuatan suprastruktur politik dan ekonomi, melainkan dari konteks lokal.”

Syamsul menambahkan bahwa hal yang memicu mengapa muncul ide untuk menginisiasi kolektif seni ini adalah soal wacana tentang seni kontemporer. “Karena dari beberapa kesenian yang dimiliki dan digagas oleh masyarakat setempat, kami melihatnya sebagai, ‘Itu juga seni kontemporer.’ Kami (para pendiri Lembâna) pada dasarnya punya kegelisahan yang sama. Poin lain yang menjadi kegelisahan kami sebagai seniman itu seolah-olah kami jauh dengan masyarakat. Padahal wacana atau pengetahuan yang kami produksi itu kan sebenarnya ada di dalam kehidupan masyarakat. Pada intinya, yang paling sederhana kami ingin dekat dengan masyarakat. Kami ingin bercengkrama, bercakap, bertukar apa yang kami punya ke masyarakat dan belajar tentang apa yang belum kami ketahui di Lembâna.”

Lembâna Artgroecosystem memiliki beberapa program yang diadakan di dua festival mereka, yaitu forum diskusi, pemutaran film, pertunjukan teater, tari dan musik, lokakarya seni, dan pameran. Adapun program utama Lembâna Artgroecosystem seperti yang dipaparkan Syamsul dalam percakapan kami ialah Babad Lembâna, sebuah festival seni satu tahunan yang melibatkan beragam seniman dan kolektif lintas disiplin seni dan pengetahuan.

Festival Babad Lembâna pertama dilaksanakan pada akhir tahun 2021 dengan rangkaian acara di antaranya adalah Toron Gunong (Pameran tunggal Tohjaya Tono), pameran bersama “Kamarrupa”, peluncuran dan diskusi buku “Warisan Cabbi”, serta Lokacipta Lembâna “Cara Melihat Fotografi-Perspektif”. Lengkapnya, acara festival yang berlangsung selama 7 hari itu telah berhasil melaksanakan 4 pemutaran film, 3 pertunjukan teater, 2 pertunjukan musik, 2 pameran, 2 forum diskusi, 1 penerbitan buku, 1 ceramah budaya, dan 1 lokacipta.

Sedangkan festival Babad Lembâna kedua dilaksakanan pada bulan yang sama tahun 2022 dengan tema kebertahanan dengan judul “Sintas, Atanè, Atana’”. Berdasarkan Kerangka Kuratorial Babad Lembâna 2022 yang ditulis Shohifur Ridho’i, “Tema tersebut menukil satu peribahasa Madura yang berbunyi: Sapa se atanè, bâkal atana’ (barang siapa bertani [menanam; bekerja], maka akan menanak; memanen; makan; hidup]).” Di festival kedua ini, selain mengundang seniman yang berasal dari Madura, Lembâna juga mengundang seniman dari luar Madura dengan tujuan untuk memperkenalkan Lembâna ke masyarakat yang lebih luas, ke orang-orang luar Madura.

Pertunjukan oleh Jan Lamijan di Babad Lembâna II, 18 Desember 2022

Beberapa rangkaian acara di festival Babad Lembâna kedua di antaranya adalah pertunjukan “Matodus” oleh Perempuan Xpresif, pertunjukan “Bhâko/Sarong” oleh Arsita Iswardhani dan ibu-ibu Lembâna, serta ceramah budaya “Di Bawah Naungan Pohon Kepuh dan Randu Alas”. Selain acara-acara yang disebutkan, festival yang berlangsung selama 7 hari ini diisi oleh kegiatan lain seperti beberapa pemutaran film, beberapa pertunjukan musik, dan majelis akbar.

Selain kedua festival di atas, Lembâna Artgroecosystem juga berpartisipasi dalam sebuah proyek kolaboratif yang digagas bersama antara Goethe-Institut di Indonesia dan India, Garasi Performance Institute dari Indonesia, serta koreografer asal India, Mandeep Raikhy bernama “Invisible Dance”. Proyek ini kemudian menghasilkan “24 Jam di Lembâna” yang merupakan sebuah koreografi sosial sehari-hari warga di Lembâna.

Invisible dance, tari yang tak terlihat. Selama ini kan kebanyakan dari kita melihat tari sebagai sesuatu yang terlihat, visible, dipentaskan di atas panggung. Berkaitan dengan itu, muncul lah ide tentang proyek ‘24 jam di Lembâna’. Disiplin tari yang kami ambil adalah koreografi. Koreografi di sini adalah koreografi sosial. Secara organik terjadi seperti itu apa adanya, repetitif di waktu yang relatif sama setiap harinya. Misalnya, ‘Orang ini pukul sekian sedang apa?’ Contohnya lainnya misalnya dalam pertanian. Pertanyaan seperti, ‘Mereka bertaninya selalu di bulan apa sih?’ Jadi ada musim yang mengkoreografi tubuh masyarakat Lembâna. Nah itu yang invisible. Koreografi kami pinjam dari disiplin tari untuk kami pakai sebagai sistem berpikir kami melihat kenyataan itu.”

“Project ini berangkat dari 2 kata kunci yang kami rasa penting untuk melihat lanskap Lembâna secara keseluruhan meskipun area Lembâna itu kecil, yaitu ruang dan waktu. Karena di mana ada ruang, di sana ada aktivitas. Di mana ada aktivitas, maka ada waktu juga yang bekerja. Di sana lah pendekatan disiplin tari yaitu Koreografi sebagai sistem berpikir difungsikan, sekaligus sebagai alat baca kenyataan. Dan metode/pendekatan ini sangat membantu kami ketika kami mencoba mempelajari realitas di Lembana,” lanjut Syamsul menjelaskan.

Syamsul juga bercerita mengenai tantangan yang dihadapi Lembâna Artgroecosystem pasca 2 festival yang sudah mereka laksanakan sebagai penutupan percakapan kami. “Meskipun bisa ditebak yang kami bagikan adalah kesenian karena itu yang kami punya, tapi bagaimana seni sebagai bahasa alternatif itu yang kami tawarkan ke masyarakat. Juga kami ingin memberi suatu pantikan bahwa di sekitar hidup kita sehari-hari selalu ada hal menarik yang bisa kita baca. Salah satu target kami ketika membuat sebuah acara atau kegiatan di Lembâna adalah mengajak warga untuk bercengkrama dengan kami. Kami berusaha menjaga relasi ini agar tetap terjalin. Kami ingin terus berbagi dan bercakap dengan warga sekitar.”

Setelah berkenalan lebih jauh dengan Lembâna Artgroecosystem, kami ingin memperkenalkan juga para pendiri Lembâna Artgroecosystem.

Fikril Akbar adalah seniman teater. Sejak 2010 ia terlibat dalam beberapa proyek pertunjukan sebagai sutradara dan skenografer. Dia adalah salah satu penggagas beberapa platform literasi, pameran seni rupa, dan pertunjukan di Pamekasan. Ia juga bekerja sebagai desainer grafis dan videografer. Karya penyutradaraannya adalah “Pocét” (2017). Fikril terlibat dalam program Performing Differences yang digagas Teater Garasi/Garasi Performance Institute di Madura. Ia juga merupakan direktur dari Teater Remo Madura (2018).

Shohifur Ridho’i adalah seniman pertunjukan, penulis, dan kurator yang mempresentasikan karyanya melalui pertunjukan teater dan tari, puisi, esai, foto, dan proyek repertoar sosial. Pendidikan terakhirnya adalah jurusan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Shohifur mengembangkan rokateater sejak 2016, sebuah platform penciptaan seni pertunjukan yang bertujuan menjadi ruang eksperimen untuk mendorong ekspresi dan pemikiran kritis kaum anak muda. Sebagian besar karyanya dibuat secara kolaboratif, terutama dengan praktisi muda lain dari berbagai disiplin ilmu.

Syamsul Arifin adalah seorang nelayan dan seniman pertunjukan asal Sampang, Madura. Tahun 2017 ia menjalani residensi seniman di Teater Garasi, Yogyakarta dan terlibat dalam program AntarRagam/Performing Differences hingga tahun 2019. Tahun 2019, ikut dalam program residensi Rimpang Nusantara  yang diinisiasi oleh Cemeti Institute dan Biennale Jogja. Karya-karyanya tampil di beberapa forum maupun festival, di antaranya Remo Teater Madura, Cabaret Chairil, Tanglok (Seni Rupa Pertunjukan), Nemor-South East Monsoon, dan beberapa forum lainnya. 2020 Menggagas Tanglok Art Foum sebagai kolektif seni dengan latar disiplin yang beragam. Menciptakan karya kolaborasi berjudul Dialogia Dapur di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja 2020, dan membuat karya Performance Art berjudul Pantai Hitam dan Tubuh Badai di pesisir Muncar-Banyuwangi dalam rangkaian program Ulupampang Menanam yang digagas oleh Studio Klampisan, Banyuwangi.

Selain sebagai seniman pertunjukan Syamsul juga mencoba praktik kuratorial dalam program Babad Lembana yang diinisiasi oleh Lembâna Artgroecosystem, Sumenep 2021. Tahun 2022 menginisiasi sekaligus menjadi kurator di proyek Hari Ini Belajar Sejarah yang diselenggarakan oleh Tanglok Art Forum yang dipresentasikan di SMA 4 Sampang, dan didukung oleh Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat, sebagai bagian dari program kemitraan Rimpang Nusantara dan didukung oleh Program The Next Generation-Prince Claus Fund. Terlibat sebagai aktor dalam pertunjukan Waktu Batu #4 “Rumah yang Terbakar” produksi Teater Garasi, dipentaskan di Borobudur dalam rangkaian Indonesia Bertutur 2022.


Hak cipta fotografi di dalam artikel ini milik Lembâna Artgroecosystem.